Seni Mamaos Cianjuran, Syiar dalam Syair

JabarPedia

Seni Mamaos Cianjuran, Syiar dalam Syair

Ikbal selamet - detikJabar
Selasa, 26 Jul 2022 04:01 WIB
Aki Dadan, Pelestarian Mamaos Cianjuran memainkan kecapi yang menjadi alat musik pada kesenian Mamaos
Foto: Aki Dadan, pelestari Mamaos Cianjuran memainkan kecapi yang menjadi alat musik pada kesenian Mamaos (Ikbal Selamet/detikJabar).
Cianjur -

Mamaos Cianjuran merupakan sebuah seni tradisi yang menggabungkan permainan kecapi dengan pembacaan kisah-kisah adiluhung. Seni tradisi yang menjadi tiga pilar budaya Cianjur ini juga menjadi syiar Agama Islam.

Kesenian ini sebetulnya sudah ada sejak 1761 seiring masa kepemimpinan R.A.A Wiratanudatar atau Bupati Cianjur pertama.

Bahkan Budayawan Cianjur Luki Muharam menjelaskan jika cikal bakal Mamaos, yakni seni pantun di era kerajaan Pajajaran. Pada masa itu, seni pantun atau syair tembang ditujukan untuk doa berdasarkan kepercayaan yang dianut masyarakat Sunda saat itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, pada masa Bupati Cianjur R Aria Adipati Kusumahningrat atau yang lebih dikenal dengan sebutan Dalem Pancaniti, Mamaos mulai dikembangkan.

Oleh Dalem Pancaniti, seni pantun sunda itu kemudian dikembangkan menjadi seni Mamaos Cianjuran, yakni seni vokal sundaan yang diiringi dengan alat musik berupa kecapi indung (Kecapi) besar dan Kecapi rincik (kecapi kecil) serta sebuah suling yang mengiringi panembanan atau juru.

ADVERTISEMENT

Luki menyebut jika di masa Kusumaningrat mamaos Cianjuran mencapai kejayaannya.

"Mamaos Cianjuran ini diciptakan oleh Dalem Pancaniti, seorang Bupati atau Dalem Cianjur yang memang senang dengan seni," kata dia.

Selain itu, berbeda dengan pantun Sunda, syair mamaos ini lebih banyak mengungkapkan puji-pujian akan kebesaran Tuhan dengan segala hasil ciptaan-Nya.

"Melalui Mamaos, Dalem Pancaniti juga menyiarkan agama Islam. Jadi syiar melalui syair," kata dia.

Dikutip dari https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id, setelah TDalem Pancaniti wafat tahun 1862, Mamaos Cianjuran diteruskan dan dilestarikan oleh anaknya yang bernama Aom Alibasah yang sering disebut juga Dalem Marhum.

Ketika itu Mamaos Cianjuran juga dibantu dikembangkan oleh tiga orang, yakni R. Djajawiredja, Aong Djalalahiman, dan R. Etje Maadjid.

Pada mulanya mamaos dinyanyikan oleh kaum pria. Baru pada perempat pertama abad ke-20 mamaos bisa dipelajari oleh kaum wanita.

Hal itu terbukti dengan munculnya para juru mamaos wanita, seperti Rd. Siti Sarah, Rd. Anah Ruhanah, Ibu Imong, Ibu Resna, dan Nyi Mas Saodah.

(mso/mso)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads