Kampung Naga Tasikmalaya, Ikuti Zaman Namun Tetap Pegang Teguh Adat

Jelajah Kampung Adat

Kampung Naga Tasikmalaya, Ikuti Zaman Namun Tetap Pegang Teguh Adat

Faizal Amiruddin - detikJabar
Minggu, 12 Jun 2022 10:01 WIB
Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya
Kampung Naga Tasikmalaya (Foto: Faizal Amiruddin)
Tasikmalaya -

Kehidupan sosial masyarakat Kampung Naga di Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya relatif unik. Meski pun kampung adat, namun kehidupan sosial masyarakatnya relatif terbuka. Mereka bisa menerima perkembangan dan kemajuan zaman.

Yang mereka pegang teguh adalah aturan adat, termasuk larangan-larangannya. Artinya selama tak ada larangan atau melanggar aturan, semua berjalan seperti biasanya.

Hal itu ditandai dengan berbagai hal. Misalnya warga Kampung Naga banyak yang terlihat menggunakan ponsel untuk berkomunikasi, beberapa rumah ada televisi, perabotan berbahan plastik juga digunakan oleh ibu-ibu, pakaian juga tak melulu menggunakan pakaian adat. Selain itu anak-anak kampung Naga juga semuanya bersekolah atau mengenyam pendidikan formal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di Kampung Naga memang tidak ada sambungan listrik. Aturan adat menolak adanya sambungan listrik ke lingkungan mereka.

Tapi televisi bisa menggunakan sumber listrik dari accu, untuk isi ulang baterai ponsel mereka lakukan di luar kampung adat atau di sekitar parkiran. "Sampai kapan pun listrik akan ditolak, karena sudah menjadi larangan," kata Ma'un.

ADVERTISEMENT

Selain dilarang secara adat, dia juga mengatakan alasan logis dari penolakan listrik. "Kampung ini kan rumahnya berbahan kayu beratap ijuk, rentan kebakaran kalau sampai ada listrik," kata Ma'un, Punduh Kampung Naga, beberapa waktu lalu.

Dia mengaku optimistis aturan adat di kampungnya akan tetap terjaga sampai kapan pun. Karena aturan adat hanya berlaku di kampung mereka saja. Artinya jika ada anak atau warga Kampung Naga yang merasa tak betah atas aturan-aturan adat itu, maka mereka dipersilahkan untuk keluar.

Namun keluar dari kampung bukan berarti terusir, hubungan silaturahmi tetap baik dan tetap diakui sebagai warga Kampung Naga.

"Kalau malam ingin terang benderang, ingin hidup modern. Ya tinggal keluar saja, mudah kan?. Kapan pun mau kembali silahkan, asal harus kembali ikuti aturan," kata Ma'un.

Masyarakat Kampung Naga menyandarkan kebutuhan hidup dari hasil tani padi, perikanan dan kerajinan anyaman bambu.

Sementara anak-anak muda Kampung Naga juga banyak yang merantau bekerja ke luar kota atau bekerja di luar dari Kampung Naga. Anak-anak perempuan juga banyak yang menikah dan ikut suami menetap di luar kampung. Semua itu tak jadi persoalan, hanya saja ketika pulang ke Kampung Naga, mereka wajib kembali mentaati aturan adat.

Dalam setahun setidaknya ada 6 momentum dimana warga Kampung Naga kembali ke kampung dan menggelar acara adat. Keenam acara itu adalah 1 Muharam, bulan Mulud, Jumadil Akhir, Sya'ban, Idul Fitri dan Idul Adha.

Aturan lain di Kampung Naga ini menyangkut jumlah rumah yang tidak boleh bertambah. Semuanya ada 112 termasuk mesjid, balai pertemuan dan Bumi Ageung.

Selain itu ada aturan atau larangan merambah atau masuk ke hutan larangan atau hutan keramat yang berada di seberang sungai Ciwulan. Aturan ini juga dipegang teguh, bahkan untuk sekedar memungut ranting patah pun masyarakat tak berani. Imbasnya keseimbangan ekosistem dan kelestarian alam di lingkungan itu tetap terjaga.

"Boleh mengambil sesuatu dari hutan itu untuk kepentingan pengobatan, tapi syaratnya sebelah kaki harus tetap terendam sungai Ciwulan. Ya memang susah, jadi lebih baik tidak usah masuk," kata Ma'un. Di samping itu masih banyak aturan-aturan adat yang berlaku dan selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat Kampung Naga.




(tey/tey)


Hide Ads