5 Pahlawan Perempuan Asal Jawa Barat

5 Pahlawan Perempuan Asal Jawa Barat

Anindyadevi Aurellia - detikJabar
Jumat, 22 Apr 2022 14:07 WIB
Dewi Sartika, salah satu pahlawan perempuan asal Jawa Barat.
Foto: Istimewa
Bandung -

Selain Kartini, ada beberapa sosok pahlawan perempuan dari tanah Sunda yang membawa pengaruh besar bagi Indonesia. Dari jasa mereka lah, saat ini perempuan bisa mendapatkan hak yang setara dengan laki-laki.

Mereka mampu menunjukkan bahwa perempuan memiliki kekuatan dan kemampuan yang membawa dampak bagi sekitar. Inil 5 pahlawan perempuan dari Jawa Barat:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

1. Dewi Sartika

Raden Dewi Sartika lahir di Cicalengka, 4 Desember 1884. Ia adalah putri dari keluarga terpandang yang memiliki keinginan untuk menjadi guru. Tahun 1904, ia wujudkan cita-cita itu dengan membangun sekolah perempuan di Bandung dengan nama Sakola Istri. Muridnya berjumlah 20, dengan tiga tena apendidik. Mata pelajaran yang diajarkan adalah menyuci, menyetrika, menjahit, mencuci, menyulam, dan membatik.

ADVERTISEMENT

Ruangan Kepatihan Bandung jadi saksi berjalannya kegiatan belajar mengajar, hingga ruangan tersebut tak mampu lagi menampung murid yang terus bertambah. Enam tahun kemudian, Sakola Istri berganti nama menjadi Sekolah Kaoetamaan Istri. Hingga 1929, Belanda memberi dukungan dengan menyediakan bangunan baru dan akomodasi sekolah. Nama sekolah tersebut akhirnya diubah menjadi Sekolah Raden Dewi.

2. Raden Siti Jenab

Nyi Raden Siti Djenab Djatradidjaja mengenalkan pendidikan perempuan di Cianjur dari pintu ke pintu. Ia adalah salah satu wanita yang pernah bersekolah di Sekolah Raden Dewi. Semangatnya untuk berkembang dan menyalurkan ilmu tak putus begitu saja. Ia dirikan sekolah di Cianjur dengan metode sekolah yang mirip dengan tempatnya menempuh pendidikan dahulu. Kurikulum yang diajarkan yaitu berupa bahasa Sunda, bahasa Melayu, bahasa Belanda, Matematika dasar, edukasi tentang budi pekerti ,sampai edukasi praktis buat para perempuan, misalnya membuat batik serta merenda.

3. Nyi Raden Rachmatulhadiah Poeradiredja

Ia dikenal dengan nama Emma Poeradiredja. Menjadi salah satu anggota Jong Java yang didirikan oleh Satiman Wirjosandjojo, ia turut berperan memperjuangkan persatuan pelajar pribumi dan memantapkan nilai kesenian serta pengetahuan umum.

Tahun 1927, ia dan teman-temannya seperti Artini, Sumardjo, Ayati, Emma Sumanegara, dan lainnya membuat Dameskring. Dameskring adalah lembaga khusus pemuda pemudi Indonesia yang berpusat pada penggalangan nilai bangsa Indonesia lewat beberapa acara, seperti membuat organisasi perempuan.

Dari situ ia terjun langsung dalam Kongres Pemuda Indonesia kedua yang diselenggarakan di Jakarta (Batavia) pada 1928. Setelah Kongres Pemuda tersebut, terbentuklah PASI atau Pasundan Istri, organisasi perempuan Jawa Barat dalam memperjuangkan kodrat dan kebutuhan rakyat Jawa Barat.

4. Raden Ayu Lasminingrat

Ialah seorang pahlawan perempuan yang berfokus pada kemajuan kaum perempuan Garut, Jawa Barat. Lasminingrat adalah putri dari penghulu dan ahli sastra yang populer dari wilayah Pasundan.

Sakola Kautamaan Istri dibangun Lasminingrat di tahun 1907, namun saat itu sekolah hanya untuk perempuan kaum terpandang. Sebagian kurikulumnya didapat dari ilmu yang diperoleh dari Belanda seperti membaca, menulis, serta pelajaran pemberdayaan kaum perempuan. Ia menggabungkan pendidikan gaya barat dan adat Sunda agar mudah dipelajari oleh rakyat.

Kepandaiannya dalam berbahasa Belanda sangat diapresiasi oleh seorang pengelola perkebunan dari Belanda yang bernama K F Holle, karena bisa menerjemahkan cerita-cerita Grimm bersaudara. Karya tulisnya yang populer adalah Warna Sari, sebuah cerita pendek tentang ambisi serta tekad perempuan dalam mengikhtiarkan haknya termasuk tentang masalah percintaan dan perjodohan.

5. Suwarsih Djojopuspito

Perempuan kelahiran Bogor, 20 April 1912 ini adalah seorang penulis Indonesia. Ia menulis novel dalam 3 bahasa, yaitu bahasa Sunda, bahasa Belanda, dan bahasa Indonesia. Ayahnya buta huruf, tetapi mampu menjadi dalang wayang kulit dalam 3 bahasa (Jawa, Sunda, dan Indonesia).

Ia dan kakak perempuannya, Nining, bersekolah di Kartini School Bogor. Sekolah tersebut merupakan Sekolah Dasar selama tujuh tahun khusus perempuan. Ia kemudian meneruskan dengan beasiswa ke MULO, lalu mendapat beasiswa penuh di Europeesche Kweekschool, Surabaya. Europeesche Kweekschool merupakan sekolah guru Belanda saat itu. Ketika Suwarsih bersekolah di sana, hanya ada 2 orang pribumi dari 28 murid.

Dengan kepandaian dan kesempatan belajar yang ia peroleh, pada zaman pendudukan Pemerintah Dai Nippon, ia memutuskan menjadi guru Sekolah Dasar Dai-ichi Menteng. Hidupnya harus berpindah-pindah dan sempat berhenti mengajar. Namun, ia terus menuangkan gagasannya melalui novel dan buku-buku. Suwarsih wafat pada 1977, mendapat kehormatan dimakamkan di Pemakaman Tamansiswa Taman Wijayabrata di Celeban, Umbulharjo - Yogyakarta.




(aau/tey)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads