Daluang sebagai kertas tradisional Indonesia, telah resmi ditetapkan oleh pemerintah sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemdikbud) pada tahun 2014.
Delapan tahun yang lalu, studio sekaligus tempat tinggal Ahmad Mufid Sururi disambangi oleh tim survey dari Kemdikbud. Mufid pun menaruh harapan.
"Saat tim survey datang, mereka sempat bertanya apa harapan ke depan untuk kertas daluang. Saya jelaskan kalau ini perlu kembali dilestarikan, tapi sampai saat ini belum ada pergerakan," tuturnya saat ditemui detikJabar di kediaman sekaligus studionya di Jalan Koperasi Ujung Berung Kota Bandung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Ia mencotohkan, kertas tradisional dari Jepang, Washi saat ini mudah dijumpai di bandara Korea sebagai merchandise. Melihat itu, Mufid merasa daluang masih punya potensi untuk menjadi merchandise asli Indonesia.
Pria yang juga senang bermusik ini pun mengungkapkan kekecewaannya terhadap pemerintah yang kurang peduli akan Daluang.
"Adanya penetapan itu sebetulnya hanya sebatas nostalgia, saya ingin pemerintah punya langkah untuk melestarikan ini. Tidak sulit mempelajarinya, hanya perlu niat," kata Mufid.
Meskipun jika dilihat dari proses pembuatan daluang ada beberapa step yang tidak bisa sembarangan, tetapi semua menjadi mudah dan cepat jika ada beberapa orang yang mengerjakan. Sayangnya, ia hanya mengerjakan pembuatan daluang seorang diri.
Hal ini juga menjadi faktor harga kertas buatannya masih terbilang mahal. Untuk daluang dengan ukuran 1 x 1 meter, ia membanderol dengan harga Rp 750.000.
"Permintaan memang tidak banyak, tapi terus ada. Ini berarti masih ada potensi untuk diperjual belikan. Saat ini, saya sedang menggarap tugas untuk mahasiswa S2 di ITB yang membutuhkan bahan baku tugas dari daluang," ujar warga Bandung tersebut.
Kediamannya selalu terbuka untuk banyak dosen, mahasiswa, komunitas, atau sesama seniman. Masih adanya potensi dan ketertarikan tersebut menjadi pecutan semangat untuknya terus berkarya meskipun seorang diri.
"Beberapa waktu yang lalu, keluarga mahasiswa ITB datang untuk mencari tahu daluang. Saya merasa ini menandakan tidak banyak tempat untuk mengakses, mereka masih merasa ini penting," katanya.
Keterbukaan inilah yang membuat Ahmad Mufid Sururi dikenal di kancah mancanegara. Ia pernah diminta mengikuti Global Eco Artisan Award tahun 2021 yang diselenggarakan oleh AGAATI CALIFORNIA, brand fashion asal California, Amerika Serikat.
Kulit kayu pohon saeh yang ia sulap menjadi syal dengan ukuran 207 x 21 centimeter, berhasil bersaing dengan 400 karya di 58 negara di dunia. Meskipun tidak berhasil juara, namun prestasi ini cukup mengharumkan nama Indonesia.
Ia juga dekat dengan Profesor Isamu Sakamoto, yang merupakan peneliti ahli bidang konservasi dan reservasi kertas dari Jepang. Mereka sempat menjajaki Bali untuk melihat Ulan Taga dan Sulawesi dengan kain Fuya.
"Beberapa peralatan saya ini justru disumbang oleh Prof Sakamoto. Miris ya?" ujarnya sambil tertawa. Karena sebaliknya, tidak ada perhatian dari pemerintah untuk membantunya melestarikan Daluang.
Kini, ia masih semangat dengan daluang dan telah berkolaborasi dengan banyak seniman baik dalam negeri maupun mancanegara seperti Prancis dan Jepang.
(aau/tya)