Sisingaan biasa dijumpai saat acara khitanan, penerimaan tamu maupun hari-hari besar. Kesenian Sisingaan ini merupakan salah satu kesenian asli dari Subang Jawa Barat. Kesenian ini juga dikenal dengan sebutan Gotong Singa atau Odong-odong.
Dikutip dari kemendikbud.go.id, Sisingaan menjadi simbol perjuangan masyarakat Kabupaten Subang terhadap penguasa.
![]() |
Pada tahun 1982, pemerintahan Belanda berkuasa di Kabupaten Subang yang saat itu dikenal sebagai daerah Double Bestuur dan dijadikan kawasan perkebunan dengan nama P&T Lands (Pamanoekan en Tjiasemladen). Masyarakat Subang mulai diperkenalkan dengan lambang negara mereka yaitu Crown atau mahkota kerajaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada saat yang bersamaan, Subang juga dikuasai oleh Inggris dan diperkenalkan dengan lambang negaranya yaitu Singa. Sehingga secara administratif, Subang dibagi ke dalam dua bagian yaitu : secara politik dikuasai oleh Belanda dan secara ekonomi dikuasai oleh Inggris.
Karena hal tersebut, masyarakat Subang mengalami tekanan secara politik, ekonomi, sosial dan budaya sehingga menimbulkan sikap perlawanan terhadap penjajah Belanda dan Inggris.
Baca juga: Yuk! Kenali 5 Motif Batik Khas Jawa Barat |
Sikap perlawanan tersebut diekspresikan secara terselubung melalui sindiran, perumpamaan dan penokohan yang sesuai dengan keadaan mereka saat itu. Salah satu ekspresi jiwa yang diwujudkan adalah dengan membuat kesenian bernama Sisingaan yang melambangkan rasa ketidakpuasan dan upaya pemberontakan kepada kaum penjajah.
Penjajah Belanda beranggapan bahwa Sisingaan hanyalah karya seni yang diciptakan secara sederhana dan spontanitas untuk menghibur anak penduduk pribumi pada saat dikhitan.
Itulah kenapa kesenian Sisingaan ini kerap digelar sebagai ritual dan hiburan masyarakat yang hendak menyunat anak laki-lakinya. Anak yang hendak disunat itu diarak dengan menunggangi Sisingaan, yang dipikul sejumlah orang.
Anak yang hendak disunat itu merupakan simbol penerus bangsa. Kemudian, singa merupakan simbol Kerajaan Inggris. Dan, para pemikul atau pengusung singa simbol masyarakat yang terjajah. Payung yang mengiringi arak-arakan adalah simbol pelindung generasi penerus bangsa.
Menurut Koendjoroningrat dalam Teori Antropologi Budaya, Sisingaan merupakan bentuk kreativitas budaya yang lahir dan muncul di daerah setempat. Kemudian berkembang dan berevolusi.
Dulu, arak-arakan Sisingaan menggunakan alat musik seadanya seperti dog-dog, kendang, kempul dan kecrek. Pola tabuhnya seperti pencak silat. Dan, improvisasi dalam seni ini bersifat spontan, tidak terencana. Sementara itu, gerak tari para pengusung atau pemikul Sisingaan tak memiliki pakem, masih bersifat biasa atau seadanya.
Sampai sekarang, seni tradisional ini masih berkembang dengan baik di daerah Subang, bahkan kesenian ini sudah terkenal sampai ke manca negara.
Kabupaten Subang mengadakan festival Sisingaan pada tanggal 5 April setiap tahunnya diikuti oleh semua kecamatan yang ada di Subang untuk memeriahkan acara peringatan hari jadi Kabupaten Subang.
(sud/tya)