Hantu atau jurig dalam bahasa Sunda biasanya kerap dikonotasikan sebagai sosok seram yang tentunya amat menakutkan bagi kita semua. Wujudnya pun sama sekali tak diharapkan kehadirannya apalagi untuk kita yang tak sengaja melihat sosok astral tersebut.
Tapi tahukah, jurig di Jawa Barat punya sebutannya sendiri secara khas. Bahkan, penamaannya bisa berbeda-beda di beberapa daerah, meskipun wujudnya sama saja. Berikut rangkumannya:
Sandekala
Misalkan sebut saja Sandekala. Ia digambarkan sebagai makhluk astral yang suka mengganggu anak-anak di waktu senja yang masih asik bermain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lulun Samak
Kemudian ada juga makhluk yang dinamakan Lulun Samak. Wujudnya digambarkan sebagai makhluk yang suka menjerat kaki anak-anak apabila terlalu lama bermain di dalam air. Tak jarang, Lulun Samak ini kerap menarik anak-anak hingga tenggelam.
Makhluk penghuni pohon di Sumedang
Selanjutnya di Sumedang, ada mahluk astral yang dianggap sebagai penghuni pepohonan hutan belantara. Sosoknya pun disakralkan karena suka mengejutkan warga yang melintas ke wilayah kekuasaannya dengan kepala yang jatuh menggelinding.
Munding Dongkol dan Jurig Jarian
Ada pula mitos Munding Dongkol yang tinggal di aliran sungai. Sosok yang digambarkan berwujud kerbau ini bila muncul di permukaan akan menghanyutkan anak-anak dengan air bah bila bermain di dekat sungai.
Tentu, anak kecil juga dilarang untuk mendekati tempat sampah yang kotor. Karena orang tua dulu percaya anak-anak ini akan diganggu oleh sosok Jurig Jarian.
Menariknya, ada sosok akademisi yang sampai mengulik nama-nama jurig endemik khas dari Jawa Barat tersebut. Sosok tersebut adalah M Zaini Alif yang kini aktif mengajar di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung.
Di samping melestarikan permainan tradisional Sunda bersama komunitas Hong yang dibesutnya, Zaini juga tergerak mendalami nama-nama jurig tersebut karena menilai banyak permainan anak yang cara main dan filosofinya lekat dengan makhluk-makhluk astral yang berada di luar nalar, seperti permainan jujurigan.
"Saya coba dalami, ternyata di Jawa Barat ada beberapa jenis jurig endemik yang berbeda-beda tergantung di daerah mana asal jurignya. Saya kemudian telusuri bersama mahasiswa, yok kita cari sebenarnya ada fenomena apa, kita belajar dari permasalahannya," ujar Zaini.
Ia pun membuat Ghostpedia atau buku kumpulan profil jurig di Jabar. Pria yang menjabat Wakil Dekan II FSRD ISBI Bandung itu pun telah mengumpulkan lebih dari 200 jenis jurig yang berasal dari berbagai wilayah di Jabar sejak 2009 lalu.
Menurut Zaini, orang tua zaman dahulu membungkus pesan dengan personifikasi jurig agar anaknya terjauh dari marabahaya. Seperti halnya jurig jarian, yang mengandung pesan agar anak menjauhi tempat yang kotor seperti tempat sampah, agar terhindar dari risiko tertusuk pecahan kaca atau terkena penyakit.
"Proteksi dalam bentuk jurig itu lebih efektif daripada hanya larangan bermain ke sana, di sisi lain ini ampuh agar anak patuh. Dan di sisi lainnya ini warisan kearifan yang dibentuk nenek moyang kita untuk menjaga anak," ujar Zaini.
"Seperti halnya mitos Sandekala, yang kalau kita kaji Sande itu artinya penanda dan Kala itu waktu, jadi penanda waktu antara petang ke malam, atau agar anak-anak tidak bermain melebihi Magrib. Nanti ada Sandekala atau serupa Kalong Wewe kalau kata orang tua, sehingga anak pulang ke rumah di balik itu ada kearifan lokal," ujarnya.
Zaini mengatakan, rasa takut kerap dijadikan salah satu cara untuk membentuk kepatuhan anak. Menurutnya ketakutan kepada hal yang gaib, telah digunakan orang tua zaman dulu kepada anak-anak mereka. Cerita jurig juga kerap digunakan untuk melindungi kawasan hutan dari perusak dengan narasi hutan keramat atau sosok penunggu di dalamnya.
Walau pada konteks kekinian, rasa takut itu berkembang menjadi mitos-mitos baru seperti halnya mitos Nancy atau hantu berwujud noni Belanda yang disebut suka muncul di jendela SMAN 3&5 Bandung. Pergeseran nilai ketakutan pun berkembang seiring dinamika sosial di tengah masyarakat, dan industri media populer.
"Memang berkembang dari masa kanak-kanak menjadi orang dewasa, muncul cerita pocong atau kuntilanak yang mengerikan dalam konteks manusia dewasa, akhirnya tidak berubah lagi menjadi rasa patuh tapi menjadi penguji adrenalin, dan akhirnya setan merubah diri, seperti apa yang ditakutkan manusia. Di Jabar misalkan ada hantu pocong, tentu itu berbeda dengan di Eropa yang berbentuk vampire yang ditakuti masyarakat lokal di sana. Pola itu didesain manusia sendiri," katanya.
Dalam konteks lainnya, kata jurig sendiri dalam bahasa lokal disebut juga 'ahli' atau orang yang menggemari suatu kegiatan atau hal. Sehingga muncul istilah-istilah baru terkait jurig ini semisal jurig Persib untuk seseorang yang sangat fanatik dengan Persib Bandung atau jurig baso untuk seseorang yang sangat menggemari makan bakso.
"Jadi sebenarnya ini untuk menjaga, walau terkesan menakut-nakuti tapi dipahami anak dan pada pendewasaannya ia akan mengerti mana yang masuk akal atau tidak," pungkasnya.
(ral/mso)