Cerita Ketekunan di Balik Lezatnya Gorengan Cendana Bandung

Cerita Ketekunan di Balik Lezatnya Gorengan Cendana Bandung

Rifat Alhamidi - detikJabar
Selasa, 28 Jan 2025 17:00 WIB
Yusuf Amin, pendiri Gorengan Cendana di Kota Bandung.
Yusuf Amin, pendiri Gorengan Cendana di Kota Bandung. (Foto: Rifat Alhamidi/detikJabar)
Bandung -

Yusuf Amin (72) masih menunjukkan sikap bersahaja dalam obrolannya. Meski kini punya usaha Gorengan Cendana yang sudah melegenda namanya, tapi sosoknya tetap sama dengan pertama kali memutuskan ke Bandung menjalani perantauannya.

Dalam perbincangannya bersama detikJabar belum lama ini, Yusuf tak sungkan untuk berbagi cerita tentang perjalanannya dalam merintis Gorengan Cendana. Di kios sederhana berukuran sekitar 3x9 meter Jalan Bengawan No 56, Cihapit, Kota Bandung, tangan Yusuf bahkan masih cekatan mengolah adonan di atas wajan penggorengan.

Sebelum bisa menikmati jerih payah dari hasil Gorengan Cendana, Yusuf merupakan pemuda kampung biasa yang berasal dari Arjawingun, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (Jabar). Pada 1974 saat usianya masih 21 tahun, Yusuf lalu memutuskan untuk pergi merantau ke Bandung untuk mengadu nasib di sana.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun yang terasa lebih berat, Yusuf saat itu harus meninggalkan istrinya, Sumarni yang pada waktu itu sedang mengandung sang buah hati. Keputusan untuk merantau pun tetap dilanjutkan karena Yusuf punya tekad yang kuat agar bisa memperbaiki perekonomian keluarganya.

"Tahun 74 itu pertama kali merantau ke Bandung, posisi saya baru menikah. Saya merantau cuma dengan modal Rp 500 perak dari mertua buat ongkos mobil, terus saya ikut di tempat saudara," kata Yusuf mengawali perbincangannya.

ADVERTISEMENT

Di Bandung, Yusuf awalnya ikut menginap di rumah kakak sepupunya di Cihaurgeulis. Kemudian melalui perkenalan dengan seseorang yang bersedia meminjamkan gerobaknya, ikhtiar Yusuf di tanah perantauan akhirnya dimulai dengan berjualan sekoteng dari jalan ke jalan.

Yusuf di tahun itu biasanya berkeliling menjajakan sekoteng di waktu malam. Di kala orang lain sibuk mengejar waktu berkumpul dengan keluarganya, Yusuf dengan penuh asa mendorong gerobaknya dari Cihaurgeulis, menuju Tamansari, Ciampelas, dan biasanya berakhir di Gegerkalong di dekat pesantren Abdullah Gymnastiar atau Aa Gim.

Selagi berada di perantauan, kabar bahagia menyelimuti hidup Yusuf Amin. Pada 1975, putra pertamanya lahir yang membuatnya makin getol mencari pundi-pundi rezeki dari usaha dagangan sekoteng-nya.

Kemudian, saat sang putra masih berusia 8 bulan, Yusuf memutuskan untuk memboyong keluarga kecilnya itu ke Bandung. Masih di Cihaurgeulis, mereka lalu memilih untuk mengontrak agar bisa secara mandiri membina bahtera rumah tangga.

Namun lama-lama, Yusuf di tahun itu merasa berjualan sekoteng tak begitu menjanjikan untuk dijalankan. Pada 1977, ia lalu memutuskan banting setir untuk berjualan gorengan dengan harapan kehidupan keluarga kecilnya bisa membaik di masa mendatang.

"Pindah jualan ke gorengan itu karena bisa dibilang capek pas dagang sekoteng. Tapi untungnya istri saya bisa nyimpen uang. Jadi sedikit-sedikit ngumpulin uang, terus bisa beli roda (gerobak) buat jual gorengan," ucap Yusuf mengenang kembali zaman-zaman awal ia merintis usaha gorengan.

Sebetulnya, tak ada yang istimewa dari perjalanan Yusuf Amin memutuskan berjualan gorengan. Pilihan itu ia ambil karena pada tahun itu di Jalan Ciliwung, Kota Bandung, sudah berjejer sejumlah pedagang gorengan yang membuat Yusuf kepincut untuk mencobanya.

Tapi sayang, di Jalan Ciliwung, usaha yang baru dirintisnya hanya berjalan semalam. Ada faktor Yusuf yang tak tega melihat seorang ibu-ibu di sana yang pada waktu itu juga sama-sama menjadi penjual gorengan.

Akhirnya, Yusuf menemukan tempat yang cocok untuk menjual gorengannya. Di Jalan Cendana ini lah nama Gorengan Cendana disematkan sejak 1977 dan akhirnya menjadi salah satu kuliner yang melegenda hingga sekarang.

"Jadi enggak punya rencana apa-apa sebetulnya buat jualan gorengan. Kebenaran dulu ada temen dagang gorengan di Dago, payu. Saya akhirnya kepengen (jualan). Kebetulan temen jual roda, akhirnya ya dagang gorengan," ungkap Yusuf.

Di masa awal rintisan, Yusuf mulai berdagang gorengan sekitar pukul 16.00 WIB hingga tengah malam. Akibatnya, si sulung yang masih berusia dua tahun waktu itu selalu dia ajak lantaran istrinya juga harus membantu Yusuf berjualan.

Karena membawa anak tengah malam, Yusuf dan istrinya tak jarang harus menina-bobokan si sulung itu di sela-sela berjualan. Kolong gerobak gorengannya pun selalu menjadi tempat favorit untuk anaknya jika dia sudah tertidur lelap.

"Kan dulu jualannya sore, pulangnya sampe malem. Anak pertama itu pas 2 tahun, tidurnya di kolong roda. Begitu sejarahnya," ucap Yusuf.

Gorengan Cendana pun seakan membuka jalan bagi Yusuf untuk menggapai mimpi-mimpinya. Dengan mempertahankan prinsip menjaga kualitas dagangannya, Gorengan Cendana mampu menguliahkan 4 anak lelaki Yusuf, dengan anak kedua dan keempat kini yang sudah berdinas sebagai dokter di rumah sakit.

Meski tak merinci berapa pendapatan yang bisa Yusuf dapatkan dari Gorengan Cendana. Tapi setidaknya, Yusuf bisa menghabiskan puluhan kilogram adonan dengan omzet yang mencapai sekitar puluhan hingga seratusan juta setiap bulan. Omzet tersebut bahkan bisa naik ketika bulan Ramadan.

"Namanya usaha pasti ada naik turunnya. Tapi buat saya sekarang, jalannya Alhamdulillah sudah dibuka sama Allah," begitulah obrolan Yusuf bersama detikJabar.

Menutup perbincangannya, Yusuf pun tak sungkan berbagi tips maupun pengalaman bagi siapa saja yang berencana merintis usahanya. Salah hal penting menurut pria yang sudah menunaikan ibadah Haji pada 1988 ini adalah, kerja keras, sabar dan ikhtiar menjadi kunci utama jika ingin bertahan mengembangkan usaha.

"Harus kerja keras, harus sabar. Karena usaha apa yang penting bisa jaga kualitas, rasa, supaya bisa ngejaga kepercayaan pelanggan," pungkasnya.

(ral/iqk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads