Rudolf Eduard Kerkhoven adalah sosok yang tidak asing bagi masyarakat Kampung Gambung, Desa Mekarsari, Kecamatan Pasirjambu. Dengan dedikasinya, hamparan kebun teh di wilayah tersebut berkembang pesat dan tetap bertahan hingga kini. Hamparan kebun teh menghiasi sebagian besar wilayah Gambung, yang udaranya sejuk membuat banyak orang tertarik untuk tinggal dan menjadi petani teh di sana.
Perjalanan Rudolf Eduard Kerkhoven dalam mengelola kebun teh dimulai dengan mengikuti jejak ayahnya, RA Kerkhoven, yang telah mengelola kebun teh di Arjasari sejak tahun 1869. Dia juga belajar dari pamannya sebagai penanggung jawab kebun teh di Sinagar dan Parakan Salak, Sukabumi.
Pada tahun 1873, Rudolf memutuskan untuk menekuni usaha teh seperti ayahnya. Dia menjelajahi Bandung Selatan dengan menunggang kuda hingga menemukan area Gambung, yang saat itu merupakan bekas kebun kopi terlantar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah (tahun) 1873 tepatnya datang ke Gambung. Nah di Gambung sendiri hanya ada 8 keluarga penduduk asli lokal Gambung, karena dulu Gambung itu masih hutan belantara dan bekas tanaman perkebunan kopi yang terlantar," ujar Manager Pemasaran dan Agro Wisata PPTK Gambung, Maman Sulaeman, saat ditemui detikJabar, belum lama ini.
Rudolf membuka lahan selama dua tahun hingga pada 1875, dia mulai berhasil menanam teh. Kopi masih diproduksi, tetapi perlahan berkurang seiring perluasan lahan teh. "Dua tahun kemudian barulah bisa menanam tanaman teh sedikit-sedikit terus perluasan, kopinya juga masih tetap dihasilkan, namun berkurang. Nah pendek cerita dari situ berkembanglah di bidang teh, diteruskan kan lah tiap tahun perluasan," katanya.
"Setelah 5 tahun kemudian baru merasakan hasil panen. Dari hasil panen itu ternyata teh Gambung, cukup diterima, bagus kualitasnya. Alhamdulillah beliau mengusahakan perkebunan itu bagus ya," tambahnya.
![]() |
Pada awalnya, tenaga kerja diambil dari penduduk setempat, tetapi Rudolf kemudian mendatangkan pekerja dari Cisondari. Dia juga membangun perumahan di Babakan, yang sekarang dikenal sebagai Villa Argafury dan Babakan Asri. "Kerkhoven sendiri banyak lah membangun perumahan-perumahan pertama di Babakan, yang sekarang Villa Argafury, ada Babakan Asri," ucapnya.
Rudolf Eduard Kerkhoven selanjutnya mampu membuat jalan ke arah Cisondari hingga ke Stasiun Ciwidey. Pasalnya awal jalan menuju ke Teh Gambung hanya dari Banjaran, Arjasari, Babakan, hingga ke Gambung. "Setelah Kerkhoven mengusahakan teh, mungkin lebih dari 10 tahun barulah membuat jalan ke Cisondari. Itu untuk akses jalan ke Stasiun Ciwidey, karena kan distribusi kalau lewat Arjasari, beliau hitung secara waktu dan itu juga cukup mahal lah ya dan lama gitu. Nah akhirnya Buatlah jalan ya dipekerjakan Alhamdulillah selesai," ungkapnya.
Rudolf Eduard Kerkhoven tinggal sederhana di perkebunan teh Gambung. Bahkan dia memiliki rumah sederhana yang jauh dari kemewahan. Namun bisnisnya terus berkembang yang membuat dirinya bisa pulang pergi ke Batavia (Jakarta) untuk urusan bisnis.
Pada tahun 1878 Rudolf Eduard Kerkhoven meminang Jenny Elisabeth Henriette Roosegarde Bisschop. Sosok perempuan tersebut bukan orang biasa, dia adalah cicit dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Daendels. Dari pernikahan ini, mereka memiliki lima anak, Rudolf (Ru) A Kerkhoven, Eduard Silvester Kerkhoven, Emilius Hubertus Kerkhoven, Karel Felix Kerkhoven, dan Bertha Elisabeth Kerkhoven.
Bisnis teh Gambung terus berkembang, dan pada tahun 1896, Rudolf memperluas usaha ke perkebunan Riung Gunung dan Malabar, yang dikelola oleh sepupunya, Karel Albert Rudolf Bosscha.
"Jadi setelah ini maju, ada pengembangan dan koneksi lah dari beberapa kebun yang terdekat ya. Akhirnya Rudolf Eduard Kerkhoven mau menginvestasikan dari hasil usahanya. Awalnya di Riung Gunung dulu," kata Maman.
Maman menjelaskan di perkebunan Riung Gunung tersebut Rudolf Eduard Kerkhoven menempatkan Karel Albert Rudolf Bosscha sebagai yang mengurus administrasi. Kata Maman, awalnya komposisi tersebut untuk sementara sambil menunggu anak Rudolf Eduard Kerkhoven lulus kuliah di Belanda.
"Nah Bosscha tidak keberatan, jalan lah. Pas perjalanan mengelola Riung Gunung, Rudolf Eduard Kerkhoven terus meninjau yang dikelola oleh Bosscha, dan ternyata bagus. Bosscha juga dekat dengan masyarakat, memperhatikan juga pendidikan," ucap Maman.
Setelah itu Rudolf A Kerkhoven (anak RE Kerkhoven) selesai kuliah. Kemudian datang ke Gambung dan mempelajari bagaimana cara mengelola teh kepada Bosscha.
"Setelah berjalannya waktu, Bosscha tetap memegang penuh administrasi di kebun teh Riung Gunung. Sementara Rudolf A Kerkhoven (anak RE Kerkhoven) tetap menjadi wakilnya dan memang tidak ngotot juga kepada ayahnya. Jadi semua berjalan dengan secara profesional," bebernya.
"Kemudian terbukti kan, Bosscha juga bisa menyebarkan bisnis kebun teh nya hingga ke Malabar. Bisnis tersebut sama hal nya apa yang dilakukan Rudolf Eduard Kerkhoven di Gambung. Makanya hingga saat ini Karel Bosscha dikenal di Pangalengan dan di Gambung itu ada Kerkhoven," lanjutnya.
![]() |
Pada tahun 1907, istri Rudolf, Jenny, meninggal dunia di Gambung karena bunuh diri. Hal ini meninggalkan trauma mendalam bagi Rudolf. Jenny dimakamkan di bawah rimbunan pohon rasmala dekat rumah mereka di Gambung.
"Kematian istrinya tersebut membuat dirinya mengalami syok dan trauma. Pasalnya istrinya meninggal dunia karena bunuh diri meminum racun. Jenny dimakamkan di bawah rimbunan pohon rasmala di atas kediamannya," tuturnya.
Tak lama setelah kematian istrinya, Rudolf meninggal pada tahun 1918 di rumahnya di Jalan Merdeka, Bandung. Namun, sesuai keinginannya, ia dimakamkan di Gambung di samping makam istrinya.
Setelah itu bisnis kebun teh Gambung diteruskan oleh anak-anaknya. Sampai pada akhirnya Indonesia merdeka pada tahun 1945. Kemudian perkebunan tersebut masih dikelola oleh keluarga Kerkhoven.
"Nah terjadi nasionalisasi itu tahun 1959. Saat itu dulu semua personil ABRI ditempatkan untuk mengelola perkebunan yang sudah dinasionalisasi. Meskipun tenaga ahlinya masih ada masih ada orang Belanda, orang kita. Nah Gambung salah satunya menjadi kebun afdelingnya Rancabolang PTPN 12 dulu mah di Jawa Barat," pungkasnya.
(iqk/iqk)