Bandung Raya Alami Penurunan Tanah, Ini Risiko yang Bisa Terjadi

Bima Bagaskara - detikJabar
Jumat, 19 Des 2025 16:30 WIB
Ilustrasi pergerakan tanah di Bandung (Foto: Whisnu Pradana/detikJabar)
Bandung -

Fenomena penurunan muka tanah di wilayah Bandung Raya menjadi perhatian serius Badan Geologi. Berdasarkan hasil pemantauan, penurunan permukaan tanah di Bandung bahkan mencapai lebih dari 5 sentimeter per tahun.

Plt Kepala Badan Geologi Lana Saria mengungkapkan bahwa Bandung termasuk salah satu wilayah dengan tingkat penurunan tanah yang cukup serius di Indonesia, sejajar dengan sejumlah daerah lain seperti Jakarta Utara dan pesisir utara Jawa.

"Berdasarkan pemantauan yang dilakukan Badan Geologi, beberapa wilayah yang mengalami penurunan tanah cukup serius di antaranya Jakarta Utara, Bandung, Semarang Utara (Genuk, Tanjung Mas, Kaligawe), Demak-Sayung, Pekalongan (pesisir), dan Surabaya Timur & Utara (lokal)," ujar Lana, Jumat (19/12/2025).

"Tren penurunan muka tanah yang terjadi di Kota-kota besar di Indonesia pada beberapa daerah masih menunjukkan tren penurunan yang cukup tinggi dengan nilai penurunan lebih 5 cm/tahun," sambungnya.

Namun untuk wilayah DKI saat ini pada beberapa daerah telah menunjukkan tren penurunan yang mulai melandai.

Lana menjelaskan, terdapat sejumlah karakteristik utama yang membuat wilayah seperti Bandung rentan mengalami penurunan permukaan tanah. Salah satunya adalah kondisi geologi berupa endapan aluvial yang masih sangat muda dan lunak.

"Karakteristik utama endapan aluvial sangat lunak (lempung-lanau muda, Holosen), eksploitasi air tanah berlebih, beban bangunan berat dan urbanisasi yang masif," jelas Lana.

Menurutnya, penurunan muka tanah bukan disebabkan satu faktor tunggal, melainkan kombinasi berbagai faktor yang saling berkaitan. Selain kondisi geologi, eksploitasi air tanah menjadi salah satu pemicu utama.

"Faktor penyebabnya antara lain kondisi geologi sedimen muda dan tanah lunak, eksploitasi air tanah berlebihan, beban bangunan dan urbanisasi masif, serta kombinasi dengan kenaikan muka laut," ujar Lana.

Jika tidak dikendalikan, dampak yang ditimbulkan bisa sangat luas dan bersifat jangka panjang. Beberapa potensi risiko dari penurunan muka tanah ini selain banjir dan rob permanen adalah kerusakan insfratruktur dan bangunan.

"Potensi risiko yang ditimbulkan ke depan antara lain risiko banjir dan rob permanen, kerusakan infrastruktur dan bangunan, menurunnya kualitas hidup dan lingkungan termasuk kesehatan dan sanitasi, kerugian ekonomi akibat meningkatnya biaya perbaikan bangunan dan infrastruktur pada daerah terdampak, hingga hilangnya wilayah daratan," katanya.

Bandung Berdiri di Atas Danau Purba

Sementara itu, Kepala Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan (PATGTL) Agus Cahyono Adi menjelaskan bahwa kondisi penurunan muka tanah di Bandung sangat dipengaruhi oleh sejarah geologinya.

"Penurunan tanah itu tidak hanya dipengaruhi satu faktor, melainkan multifaktor. Pertama adalah kondisi fisiknya. Wilayah Bandung terbentuk dari danau purba. Endapan danau purba itu berupa sedimen, yang sifatnya lebih mudah terkompaksi," ujar Agus.

Ia membandingkan Bandung dengan wilayah lain yang memiliki karakter batuan lebih keras yang berpotensi rendah mengalami fenomena penurunan muka tanah.

"Sementara di wilayah lain yang bersifat vulkanik, dengan bekuan lava, batuannya lebih kuat. Di wilayah pesisir juga terlihat dari hasil log bor, lapisan tanahnya masih lunak hingga kedalaman tertentu, khususnya di pantai utara Jawa," jelasnya.

Agus menegaskan bahwa karakter geologi di Pulau Jawa sangat beragam dan tidak bisa disamaratakan. Dari berbagai faktor penyebab tersebut, Agus menyebut ada faktor yang bisa dikendalikan, salah satunya adalah penggunaan air tanah.

"Dari semua faktor itu, ada yang bisa kita kendalikan dan ada yang tidak. Kondisi alam tidak bisa kita kendalikan, tetapi yang bisa dikendalikan salah satunya adalah pengurangan penggunaan air tanah," ujarnya.

Ia mencontohkan kondisi di Jakarta, di mana penurunan penggunaan air tanah mulai terlihat setelah pembangunan jaringan air bersih secara masif.

"Hal ini sudah terlihat di Jakarta. Dari pemantauan kami, penggunaan air tanah menurun karena pembangunan jaringan PDAM yang masif. Sementara untuk wilayah Bandung, penggunaan air tanah masih relatif tinggi," kata Agus.

Namun, Agus menekankan bahwa air merupakan kebutuhan dasar masyarakat sehingga pengendalian harus dilakukan secara bertahap dan terukur.

"Air merupakan kebutuhan pokok, sehingga tidak bisa serta-merta dilarang. Harus ada upaya bersama antara penyediaan pasokan air dan pengendalian penggunaan air tanah agar kebutuhan masyarakat tetap terpenuhi," ujarnya.

Terkait langkah pemerintah, Agus menyebut Badan Geologi terus memberikan rekomendasi melalui berbagai forum koordinasi lintas sektor untuk memperhatikan fenomena penurunan muka tanah ini, termasuk mengontrol pemanfaatan air tanah.

"Untuk air tanah, upaya yang dilakukan harus simultan dan paralel, antara penyediaan air permukaan dan pengendalian air tanah. Ibaratnya satu menginjak gas, satu mengerem," ujarnya.

Sementara untuk wilayah pesisir, penurunan muka tanah juga menjadi perhatian serius pemerintah pusat. Menurut Agus, pengendalian kawasan pesisir sangat penting mengingat perannya sebagai salah satu penopang perekonomian nasional.

"Untuk wilayah pantai, penurunan muka tanah memang terjadi di beberapa lokasi. Karena itu, kami bersama instansi infrastruktur dan Badan Otorita Pantai Utara sedang mencari solusi yang tepat," kata Agus.

"Pengendalian wilayah pesisir memang perlu dilakukan karena kawasan tersebut merupakan salah satu sumber perekonomian penting," pungkasnya.



Simak Video "Video: Ngerinya Letusan Gunung Lewotobi Laki-laki Disertai Badai Petir"

(bba/dir)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork