Kata KDM soal Moratorium Perumahan dan Diskusi dengan Menteri Ara

Kata KDM soal Moratorium Perumahan dan Diskusi dengan Menteri Ara

Bima Bagaskara - detikJabar
Rabu, 17 Des 2025 19:00 WIB
Kata KDM soal Moratorium Perumahan dan Diskusi dengan Menteri Ara
Ilustrasi Perumahan Rakyat. (Foto: BP Tapera)
Bandung -

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi merespons rencana Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait yang akan mengajaknya berdiskusi terkait kebijakan penghentian sementara penerbitan izin pembangunan rumah atau perumahan di Jawa Barat.

Kebijakan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor: 180/HUB.03.08.02/DISPERKIM tentang Penghentian Sementara Penerbitan Izin Perumahan di Wilayah Provinsi Jawa Barat yang diterbitkan pada 13 Desember 2025.

Menanggapi rencana diskusi tersebut, Dedi menegaskan substansi surat edaran itu sejatinya sudah jelas, yakni penghentian sementara izin hanya berlaku untuk wilayah yang berpotensi menimbulkan bencana.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kan kalimatnya kan sudah jelas bahwa di situ yang memiliki potensi menimbulkan bencana baik banjir maupun longsor. Kan kepala daerah, kepala DPMPTSP di setiap kabupaten kan ada bidang tata ruangnya, dia sudah harus bisa menghitung," ujar Dedi, Rabu (17/12/2025).

ADVERTISEMENT

Menurut Dedi, kebijakan ini bukan diambil secara sepihak. Saat ini, Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah meminta bidang tata ruang untuk berkoordinasi dan melakukan pemetaan secara menyeluruh sebagai bagian dari mitigasi bencana.

"Tetapi untuk seluruh rangkaian itu kan kita sudah meminta nih sekarang bidang tata ruang provinsi untuk berkoordinasi dan memetakan. Ini kan tujuannya mitigasi bencana," katanya.

Dedi lalu mencontohkan kondisi di wilayah Bekasi dan Karawang yang menurutnya menjadi gambaran nyata dampak buruk pembangunan perumahan tanpa kendali tata ruang.

"Saya berikan contoh misalnya di Bekasi, kita kan terus bongkar daerah aliran sungai, bangli (bangunan liar) kita angkat. Tetapi kalau di Karawang, Bekasi terus-terusan daerah-daerah rawa dan sawahnya diuruk, ya tidak akan selesai," ujarnya.

Ia menilai persoalan perumahan di Jawa Barat juga dipengaruhi oleh perbedaan pola pengembang, antara perumahan kelas atas dan rumah sederhana.

"Problemnya menurut saya dua ya. Ini kan ada dua pola pengembang. Satu, pengembang kelas atas melahirkan rumah mewah. Yang kedua, pengembang yang melahirkan rumah sederhana atau sangat sederhana. Itu polanya beda," kata Dedi.

Menurutnya, pengembang perumahan mewah cenderung menguruk lahan dan membangun sistem pengendalian air sendiri, sementara pengembang rumah sederhana sering kali meninggalkan masalah lingkungan setelah proyek selesai.

"Yang pengembang yang melahirkan rumah mewah itu diuruk. Naikin kemudian bikin danau. Sehingga mereka enggak banjir. Nah, pengembang yang RSS, itu kalau sawah langsung petaknya itu langsung digali. Langsung digali kemudian dibangun," ujarnya.

"Setelah selesai ditinggalkan. Apa yang terjadi? Besok banjir fasilitas umumnya tidak ada, fasilitas pendidikannya tidak ada, kepala daerah dengan anggaran yang sangat terbatas hari ini mengalami beban yang sangat berat," lanjut Dedi.

Ia menegaskan, persoalan inilah yang ingin dibahas bersama pemerintah pusat agar kebijakan perumahan selaras dengan kelestarian lingkungan.

"Ini yang mari kita bicarakan agar penyediaan perumahan pemukiman selaras dengan tingkat keharmonian alam," katanya.

Dedi juga menyinggung banjir yang kerap terjadi di kawasan perumahan di Bekasi dan Bandung, yang menurutnya tak lepas dari alih fungsi lahan sawah, rawa, hingga daerah resapan air.

"Yang berikutnya juga kita tahu yang di Bekasi ini sekarang yang banjir-banjir siapa, perumahan. Kemudian sekarang di daerah Bandung. Bandung juga sama kan, Sawah, rawa. Itu yang terjadi," ujarnya.

Ia kembali mencontohkan kasus di Arjasari, Kabupaten Bandung, sebagai dampak dari kesalahan tata ruang di masa lalu. "Contoh kasus yang desa kemarin, Arjasari. Itu sebenarnya kan sebelumnya sudah belah tanahnya dan sudah diingatkan. Di sampingnya, di Arjasari ini banjir perumahan," katanya.

Menurut Dedi, evaluasi tata ruang saat ini sedang berjalan, namun proses perubahan regulasi membutuhkan waktu yang tidak singkat, sementara ancaman bencana datang tanpa menunggu aturan selesai.

"Ini kan tata ruang dulu salah membuatnya. Karena salah membuatnya maka tata ruangnya dievaluasi. Hari ini pleno tata ruang. Tahun depan kabupaten dan kota akan mengubah tata ruang," ujarnya.

"Tetapi kalau menunggu perdanya dibuat, perlu waktu lama, setahun minimal. Tetapi banjir kan tidak melihat waktunya kapan," sambungnya.

Atas dasar itu, Dedi menegaskan kebijakan penghentian sementara izin perumahan adalah langkah jeda untuk berpikir dan menata ulang.

"Maka saya melakukan langkah. Sudah setop dulu, kita mikir dulu deh jeda sebentar, kemudian kita rumuskan dan kita petakan gitu. Saya ingin dua-duanya tercapai. Masyarakat punya rumah, kemudian lingkungan memiliki harmoni," katanya.

Sebagai solusi jangka panjang, Dedi mendorong pembangunan perumahan vertikal, terutama di wilayah dengan keterbatasan lahan.

"Harus segera di pikirkan rumahnya vertikal. Enggak ada pilihan. Semua ya, bukan hanya Bandung, Bogor, Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang semua daerah yang areal tanahnya sudah habis harus memikirkan rumah vertikal," tegasnya.

"Kalau enggak, habis. Nanti kalau habis semua, rawa habis semua, sawah habis semua, kemudian daerah bukit habis semua, daerah aliran sungai habis semua, mohon maaf ya, nanti suatu saat ada siklus bencana yang terjadi," tutup Dedi.

(bba/sud)


Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads