Ratusan siswa di pelosok Kabupaten Cianjur pertaruhkan nyawa dengan menyeberangi Sungai Cibuni yang berarus deras menggunakan rakit bambu. Putusnya jembatan gantung penghubung dua kecamatan sejak empat tahun lalu, membuat para siswa dan warga sekitar terpaksa berhadapan dengan risiko dan maut.
Setiap pagi para siswa dari Madrasah Aliyah dan Madrasah Tsanawiyah di Kecamatan Kadupandak menjalani rutinitas ekstrem tersebut agar tiba di sekolahnya yang berada di Kecamatan Cijati.
Mereka antre di tepi sungai, menunggu giliran untuk naik rakit bambu yang dibuat oleh warga sekitar untuk menjadi angkutan penyeberangan.
Arus sungai yang deras tak jarang membuat siswa merasa resah, khawatir rakit bambu yang mampu memuat maksimal 20 orang tersebut terbalik, sehingga para siswa tercebur dan terseret arus.
Tak hanya saat berangkat sekolah, mereka juga harus kembali bertaruh nyawa saat pulang sekolah. Mereka harus kembali menaiki rakit untuk menyeberangi sungai yang lebarnya 100 meter agar dapat pulang ke rumah masing-masing.
Tetapi perjuangan para siswa tak sebatas saat menaiki rakit, tetapi dimulai sejak berangkat dari rumah. Mereka biasanya berjalan tanpa alas kaki atau sandal, sebab untuk bisa titik penyeberangan, siswa mesti berjalan melintasi jalan setapan di area persawahan.
Hal itu dilakukan untuk menghindari sepatu kotor dari lumpur selepas hujan ataupun agar tak basah saat menaiki rakit bambu.
Shela, siswi kelas 12 MA Bojongjati, mengatakan rutinitas berbahaya itu terpaksa dia dan teman-temannya lakukan lantaran akses jembatan satu-satunya putus diterjang banjir bandang.
"Dulu ada jembatan gantung, tapi putus akibat banjir. Jadi sudah sejak MTs sampai sekolah kelas 12 di Madrasah Aliyah, saya dan teman-teman menyeberangi sungai dengan rakit bambu," ungkap dia, Kamis (4/12/2025).
Dia mengaku awalnya sempat takut menaiki rakit tersebut, tetapi perlahan rasa takut itu memudar seiring kegiatan itu sudah menjadi rutinitas.
"Dulu mah takut. Apalagi kalau airnya sedang deras. Tapi sekarang mah sudah terbiasa," kata dia.
Menurut dia, para siswa memilih akses tersebut lantaran lebih dekat, dibandingkan harus memutar dengan melalui beberapa desa.
"Kalau lewat sini (sungai), jaraknya hanya 4 kilometer. Waktu tempuhnya sekitar 30 meter dari rumah ke sekolah. Kalau melalui jalan memutar, bisa dua jam baru sampai ke sekolah," kata dia.
Kepala Desa Sukamahi Kecamatan Cijati Mahidin, mengatakan para siswa tersebut hanya bagian kecil dari banyaknya kelompok masyarakat yang bertaruh nyawa menyeberangi sungai dengan rakit bambu.
"Sekian pelajar, orangtua juga melalui sungai Cibuni dengan rakit, baik untuk aktivitas ekonomi, sosial, dan untuk menjangkau layanan kesehatan terdekat. Jadi kasus dihitung, sehari itu ada ratusan orang yang menyeberang, terdiri dari pelajar dan masyarakat," kata dia.
Dia mengatakan, di lokasi tersebut awalnya ada jembatan gantung yang menghubungkan Desa Sukamahi Kecamatan Cijati dan Neglasari Kecamatan Kadupandak. Tetapi jembatan tersebut putus akibat diterjang banjir.
"Dulu ada jembatan, meskipun usianya sudah belasan tahun tetapi masih bisa digunakan dan jadi akses utama warga di dua desa dari dua kecamatan. Tapi pada 2021 putus, dan sampai sekarang belum diperbaiki," kata dia.
Menurutnya, pemerintah desa sudah seringkali mengajukan pembangunan jembatan gantung yang baru, namun belum ada kejelasan akan direalisasikan atau tidak.
"Kabar terbaru akan dibangun pada 2026, tapi kita belum tahu juga apakah benar-benar terealisasi atau tidak. Kami tentunya berharap segera ada jembatan baru untuk mempermudah akses warga, dan mengantisipasi terjadinya risiko perahu terguling akibat diterjang banjir bandang hingga mengakibatkan korban jiwa," pungkasnya.
(sud/sud)