Di sebuah rumah sederhana berbilik bambu di Kampung Panagan, Desa Pasir Datar Indah, Kecamatan Caringin, Kabupaten Sukabumi, Aidah (47) duduk sambil mengelus lembut putrinya, Syakira Auni Azmi.
Bocah berusia 7 tahun itu menatap lurus tanpa kedipan, persis seperti sejak ia lahir. Kelainan yang membuat matanya tak bisa menutup dan bibir atasnya tak dapat bergerak itu kini membentuk keseharian Syakira, yang sudah duduk di kelas satu SD.
Aidah bercerita, sejak lahir kondisi Syakira sudah berbeda. Ia lahir setelah kandungan melewati dua minggu dari waktu perkiraan lahir dan harus segera dikeluarkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Katanya sudah keminum air ketuban, keracunan, jadi harus dikeluarkan. Pas lahir di RS Betha, anak sudah biru semua, nggak ada suara. Langsung dirujuk ke Sekarwangi," kata Aidah kepada detikJabar, Kamis (27/11/2025).
Sejak itu, Syakira menjalani kontrol rutin hingga usia lima tahun di RS Betha Medika. Namun kondisi matanya tak kunjung membaik. Dokter kemudian merujuknya ke RS Mata Cicendo Bandung. Di sana, Aidah menerima kabar yang membuatnya limbung.
"Di Cicendo juga angkat tangan. Katanya ini kasus langka, baru nemuin, jadi nggak bisa bantu. Sindrom apa, saya nggak ngerti. Pokoknya dibilang kasus langka," ucapnya pelan.
Merawat dengan Ketakutan
Syakira bisa melihat dengan normal, namun karena tak bisa berkedip, matanya sangat sensitif terhadap debu dan angin. Aidah pun membatasi aktivitas putrinya.
"Saya nggak ngasih dia main sama anak lain. Takut kena debu, nanti matanya merah. Tetesnya ada khusus dari dokter," katanya.
Saat tidur pun, mata Syakira tak bisa benar-benar tertutup. Namun Aidah memastikan putrinya tetap bisa beristirahat. Meski tampak rapuh, Syakira jarang mengeluh sakit atau menangis.
"Biasa saja seperti anak-anak yang lain, hebatnya anak saya nggak pernah ngeluh," ujar Aidah.
Perjuangan Pengobatan Bertahun-tahun
Soal pengobatan, Aidah mengaku kendala terbesarnya adalah jarak dan biaya transportasi. Tempat tinggalnya jauh di kampung pedalaman, sehingga ia harus merogoh kocek lebih dalam.
"Saya tinggal di kampung, jauh ke rumah sakit. Dulu dari lahir sampai umur lima tahun saya ngojek, nggak punya kendaraan. Pulang-pergi ke RS Betha butuh Rp100 ribu," katanya.
Untuk biaya medis, Aidah bersyukur karena ditanggung BPJS. Namun urusan ongkos perjalanan kerap membuatnya kewalahan.
Kondisi ekonomi keluarga pun terbatas. Suaminya bekerja sebagai buruh cangkul di kebun, sementara Aidah hanya ibu rumah tangga. Syakira merupakan anak keempat dan satu-satunya yang memiliki kondisi kesehatan berbeda.
Upaya operasi pun tak pernah menjadi opsi karena tidak disarankan oleh dokter. "Nggak ada operasi. Udah konsultasi, memang nggak ada. Yang di Cicendo pun nggak bisa," tambahnya.
"Pokoknya dari lahir sampai sekarang saya mandiri. Gimana caranya supaya anak saya sembuh, saya usaha sendiri. Nggak pernah dapat bantuan dari manapun," katanya.
Padahal, Puskesmas setempat sudah membantu mengajukan kondisi Syakira agar mendapat perhatian. Tetapi hingga kini belum ada tindak lanjut.
"Mudah-mudahan ada bantuan dari pemerintah atau dari Pak Dedi (Gubernur). Semoga Pak Dedi dengar," harap Aidah.
Meski perjuangan terasa panjang, Aidah tetap berpegang pada harapan sederhana yaitu ada tangan yang terulur untuk membantu Syakira mendapat penanganan medis yang lebih baik.
Terpisah, Camat Caringin Ridwan Agus Mulyawan mengatakan, ia bersama petugas kesehatan dari puskesmas sempat mengunjungi dan melihat kondisi Syakira. Menurutnya, kondisi Syakira sudah terjadi sejak lahir.
"Jadi asumsi awalnya keracunan air ketuban pada saat dalam kandungan karena lahir itu 9 bulan 2 minggu di Betha Medika. Tindakannya dan langsung diobservasi ke (RS) Sekarwangi, pada saat lahir ibunya masih di (RS) Betha Medika," kata Ridwan.
Terkait bantuan terhadap Syakira, ia menyebut Forkopimcam sudah berupaya dengan menyediakan ambulans desa. Selain itu, Ridwan juga akan mengecek kaitan keluarga termasuk dalam penerima manfaat bantuan dari Kementerian Sosial atau tidak.
"(Bansos) belum mendeteksi sampai ke sana karena posisinya jauh di ujung desa, cuman saya belum bisa mendeteksi itu (bantuan akomodasi berobat) nanti harus kita cek lagi ke PKH," ujarnya.
Ridwan menerangkan, secara anggaran, pemerintah kecamatan memang tidak menganggarkan terkait bantuan masyarakat. Meski demikian, ia akan mengupayakan bantuan dari sumber lainnya.
"(Ada bantuan biaya akomodasi?) Kalau bicara itu, memang tidak teralokasikan anggaran di kami ini, nggak ada anggaran untuk seperti itu. Tapi kita juga akan mencoba dengan kearifan lokal dalam arti relawan dan sebagainya," tutupnya.
Simak Video "Video: Gejala Trauma yang Ditemukan pada Anak-anak Gaza Pasca-perang"
[Gambas:Video 20detik]
(mso/mso)











































