Di tengah kepungan bencana ekologis yang makin masif, Kabupaten Sukabumi mengambil langkah yang tak biasa. Alih-alih menebalkan sanksi atau menambah pasal larangan, DPRD dan Pemerintah Daerah memilih menengok ke belakang, menggali kembali kebijaksanaan leluhur dalam naskah kuno Sunda.
Langkah kultural itu mendapat legitimasi dalam Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Sukabumi, Rabu, 12 November 2025 yang lalu. Secara formal, regulasi ini bernama Peraturan Daerah tentang Pelestarian Pengetahuan Tradisional dalam Pelindungan Kawasan Sumber Air.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun di telinga publik dan para perumusnya, aturan ini lebih akrab disebut Perda Patanjala. Sebuah instrumen hukum modern yang menghidupkan kembali "ruh" Amanat Galunggung dari abad ke-13 ke dalam tata kelola pemerintahan hari ini.
Hasim Adnan, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat, menilai Sukabumi tak punya banyak waktu menyia-nyiakan momentum. Kondisi ekologis daerah itu sudah berada di titik rawan.
"Kerusakan alam di Kabupaten Sukabumi sudah luar biasa. Tahun lalu saja, dari 47 kecamatan, sebanyak 39 kecamatan (87%) terdampak musibah. Itu pertanda kerusakan sudah sangat parah," ungkap Hasim di sela kegiatan mendampingi Menko PMK Muhaimin Iskandar di lokasi bencana Cisolok, Kamis (27/11/2025).
Hasim memandang Perda Patanjala sebagai upaya menata ulang relasi manusia dan alam yang selama ini terlalu eksploitatif. Pendekatan budaya yang diambil pemerintah dinilainya sebagai cara mengembalikan disiplin ekologis melalui nilai yang sudah hidup sejak lama.
"Perda ini memungkinkan pemerintah dan stakeholder untuk menata ulang dan memberikan respons konkret. Mudah-mudahan dalam waktu 2-3 tahun ke depan, kita akan melihat bencana tidak lagi separah tahun-tahun sebelumnya," tutup Hasim.
Setelah dorongan itu di tingkat provinsi, pandangan teknis datang dari kalangan perumus perda di Sukabumi.
Sementara itu, anggota Komisi II DPRD Kabupaten Sukabumi, Bayu Permana, menjelaskan bahwa bahasa hukum dan istilah kehutanan modern kerap jauh dari pemahaman warga. Hutan Lindung, Konservasi, atau Produksi terdengar kaku bagi masyarakat lokal.
Bayu menyebut Perda Patanjala hadir untuk menjembatani jurang itu. Ia menunjuk Amanat Galunggung dari era Prabu Darmasiksa sebagai rujukan yang lebih akrab bagi warga karena memuat pembagian ruang hidup yang sudah dikenal turun-temurun.
"Dalam kebudayaan kita, sebetulnya konsep konservasi itu sudah ada sejak abad ke-13. Di naskah Amanat Galunggung, tata wilayah dibagi tiga yaitu Leuweung Larangan, Leuweung Tutupan, dan Leuweung Baladahan," papar Bayu.
Konsep itu kemudian dibakukan kembali. Leuweung Larangan identik dengan kawasan konservasi yang tak boleh diganggu. Leuweung Tutupan berfungsi sebagai penyangga, dan Leuweung Baladahan menjadi ruang budidaya, tempat warga bisa bercocok tanam dan beraktivitas ekonomi.
"Perda Patanjala ini ingin mendorong partisipasi kesadaran pengetahuan masyarakat. Agar tanggung jawab mengelola lingkungan hidup tidak lagi menjadi tanggung jawab negara saja, tetapi masyarakat secara individu bisa mengambil bagian menjaga pola relasi dengan alam sekitarnya," sambung Bayu.
Dengan dua perspektif itu, Perda Patanjala bukan sekadar regulasi. Ia menjadi jembatan antara ajaran tua dan tantangan ekologis hari ini, sebuah upaya merekatkan manusia dengan tanah yang mereka pijak.
(sya/sud)










































