Laporan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri mengenai maraknya perekrutan anak ke jaringan terorisme melalui gim online dan platform digital mencatat Jawa Barat sebagai wilayah dengan jumlah anak dan remaja paling banyak.
Dalam laporannya, Densus 88 menyebut, ada 110 anak di 23 provinsi dengan rentang usia 10-18 tahun sedang dalam proses identifikasi dan Jawa Barat menjadi yang tertinggi terpapar paham radikal.
Menanggapi hal tersebut, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menilai, angka yang tinggi itu sejalan dengan jumlah populasi anak muda Jabar yang memang terbesar di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, Dedi juga menyoroti tingginya penetrasi internet dan penggunaan gawai yang membuat paparan ideologi ekstrem lebih mudah terjadi tanpa adanya tatap muka.
"Ya kan problematika itu tertinggi disebabkan kan jumlah anak-anak muda Jawa Barat ini juga paling tinggi di Indonesia," ujar Dedi di Gedung Sate, Bandung, Rabu (19/11/2025).
"Terus kemudian angka penggunaan media sosialnya juga paling tinggi dan hari ini kan memahami kelompok manapun di kehidupan kita, kan tidak mesti berkumpul. Cukup buka berbagai aplikasi yang ada bisa terlihat," lanjutnya.
Dedi mencontohkan bagaimana akses informasi yang tak terbatas dapat memicu tindakan berbahaya, bahkan pada anak yang sebelumnya tidak terpantau. Hal itu menurutnya sudah terbukti di kasus bom yang terjadi di SMAN 72 Jakarta beberapa waktu lalu.
Menurutnya, keterbukaan akses informasi itulah yang membuat anak-anak sangat rentan terhadap pengaruh radikal. "Contoh misalnya, bayangkan saja kasus yang di SMA 72 yang di Jakarta itu, anak dibully kok bisa bikin bom kan gitu loh," katanya.
Dedi menegaskan bahwa pengawasan anak di era digital tak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah. Menurutnya, pihak yang paling berperan justru adalah keluarga dan sekolah.
"Artinya akses terhadap informasi apapun hari ini sangat terbuka. Dan untuk itu siapa yang paling punya peran besar yang pertama adalah orang tua untuk mengendalikan dan mengawasi pengelolaan media sosial bagi anak-anaknya," tuturnya.
"Yang kedua sekolah, kalau kita (Jabar) kan sudah tegas kalau SMP kan enggak boleh (bawa gawai). Walaupun pada praktik di lapangan ya orang tuanya memberi, gimana kita bisa mengintervensi hak-hak personal, kan tidak bisa juga," ungkapnya.
Terkait langkah strategis pemerintah provinsi, Dedi menyebut bahwa pencegahan radikalisme dan terorisme akan diarahkan pada pendekatan baru yang lebih relevan dengan perkembangan zaman.
"Ya langkah-langkah penanganannya ini ke depan lah. Nanti penanganan yang anti radikalisme, kemudian terorisme itu akan semakin kita tinggalkan," tandasnya.
Diketahui, juru bicara Densus 88 Antiteror AKBP Mayndra Eka Wardhana mengungkapkan, pada periode 2011-2017, hanya 17 anak yang diamankan terkait jaringan teror. Namun, pada 2025, jumlahnya meningkat.
"Pada tahun 2025 sendiri, seperti yang tadi disampaikan, kurang lebih ada 110 yang saat ini sedang teridentifikasi. Artinya ada proses rekrutmen yang sangat masif melalui media daring," tutur Mayndra di Mabes Polri dikutip dari detikNews.
Dia menjelaskan, pola perekrutan sepenuhnya dilakukan secara daring tanpa pertemuan fisik. Anak-anak yang kini sedang dalam proses identifikasi berusia 10-18 tahun dan tersebar di 23 provinsi. Jawa Barat dan DKI Jakarta menjadi dua wilayah dengan jumlah temuan tertinggi.
"Provinsi paling banyak anak yang terpapar paham ini adalah Jawa Barat, kemudian Jakarta," kata Mayndra.
Simak Video "Video Densus 88 Sebut Tersangka Perekrut Anak 'Pemain Lama' Jaringan ISIS"
[Gambas:Video 20detik]
(bba/mso)











































