Kata 'anjing' sering dianggap kata kasar. Seseorang akan memaki orang lain dengan memanfaatkan kata ini. Orang yang lepas kendali terhadap lidahnya sendiri saat marah atau kesal, akan lepas pula dari mulutnya kata-kata mengandung 'anjing'.
Padahal, misalnya bagi orang Sunda, anjing adalah nama yang dekat dengan sejarah leluhurnya. Dalam Legenda Tangkuban Parahu yang menampilkan kisah oedipus complex Sangkuriang dan Dayang Sumbi, hewan anjing hadir sebagai sosok Si Tumang, ayah Sangkuriang.
Di masa kini, bagi para petani yang berladang di hutan-hutan, anjing juga masih dipergunakan sebagai sistem pertemanan (buddy system). Para petani yang sendirian ke ladang, sejatinya tidak benar-benar sendirian sebab dia berteman anjing.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika anjing begitu dekat dekat masyarakat Sunda, mengapa kata itu menjadi punya nuansa kasar saat ini? Bahkan menurut kamus Sundadigi, anjing adalah ungkapan maki paling kasar. Sejak kapan itu terjadi?
Kata Anjing dalam Peristilahan Sunda
Banyak sekali istilah di dalam bahasa Sunda yang mengandung 'anjing', namun dapat dirasakan bahwa dari banyak istilah yang ada, anjing yang dimaksud adalah sejatinya hewan berkaki empat dari keluarga Canidae.
Misalnya ada ungkapan 'nganjingan' yaitu mengusir orang dengan mempergunakan anjing supaya menggonggong kepada orang yang dimaksud. Ada juga 'dianjing cai' yaitu mempunyai keinginan akan sesuatu berikut memikirkan bagaimana caranya supaya tercapai.
Dalam arsitektur rumah Sunda, dikenal atap 'tagog anjing' yaitu atap yang mirip dengan posisi anjing sedang berdiri berjaga. Ada pula arsitektur 'jogo anjing', nama untuk jenis saung/gubuk.
Dan banyak lagi istilah-istilah yang bertalian dengan anjing seperti 'beuteung anjingeun', 'anjing cai', 'anjing ngagogogan kalong', dan lain sebagainya.
Benarkah Kata Anjing Kasar?
detikJabar mencoba mewawancarai sejumlah pemuda di Kabupaten Sumedang tentang benarkah kata 'anjing' bernada kasar? Tetapi jawaban mereka ternyata lebih leluasa.
Menurut mereka, tidak setiap 'anjing' bernuansa kasar, tergantung pada kondisi dan konteks yang sedang dihadapi. Bisa jadi, anjing sebatas sapaan akrab, di mana yang diajak bicara tidak akan marah jika disapa sebagai 'anjing'.
Aceng Nurdin (29) mengatakan bahwa kata 'anjing' bukanlah soal kekasaran yang melekat pada kata itu, melainkan bagaimana dan di mana kata itu dipakai.
"Bukan kasarnya, tapi karena salah menempatkan. Bahasa yang seharusnya untuk binatang, malah dipakai untuk manusia,"
"Lalu mungkin, karena binatang itu galak dan bahaya kalau menggigit, atau bisa juga karena najisnya (sehingga dipakai untuk memaki)," kata Aceng, warga Kabupaten Sumedang, kepada detikJabar, Kamis (24/7/2025).
Ino Gandana (28) menilai perkara kata 'anjing' ini tidak menjadi kasar asal diucapkan tidak dengan dorongan emosional.
"Aman-aman saja, Pak kalau tidak dibarengi emosi. Tapi, untuk siapa dulu, dan sedang bagaimana. Tergantung kondisinya," kata Ino melalui pesan WhatsApp.
Ace Y Wahyudin (34) menganggap kata 'anjing' kasar jika dilontarkan kepada objek yang bukan haknya. "Ya kasar kalau ditujukan ke manusia," katanya.
Sejak Kapan Kata 'Anjing' Kasar?
Penelusuran sejak kapan kata 'anjing' dipakai untuk memaki dan bernilai kasar mungkin akan sampai pada dugaan bahwa orang Sunda sangat erat dengan agama Islam.
Di dalam Islam, liur anjing dinilai najis dan pada mazhab tertentu, setiap benda berguna bagi manusia tapi dijilat anjing, atau bersentuhan dengan kulit anjing yang basah, haruslah mendapatkan cucian sebanyak 7 kali yang satu kali di antaranya menggunakan tanah agar kembali suci. Kategori najis anjing adalah mugholadloh.
Karena najis tingkat tinggi inilah, diduga 'anjing' digunakan sebagai kata untuk mengumpat atau memaki dengan tujuan merendahkan serendah-rendahnya orang yang sedang 'dianjing-anjing'.
Kata 'Anjing' Bukan Hanya untuk Memaki
Nyatanya, kata 'anjing' tidak melulu digunakan sebagai kata kasar untuk memaki. Kata anjing juga bisa sebagai kata untuk menunjukkan rasa kagum, kata untuk menyapa teman dekat, dan lain sebagainya. Fenomena bahasa adalah hal yang bersifat dinamis, karenanya studi hanya bisa menangkap momen tuturan tersebut.
Dalam jurnal Metahumaniora, 2017, studi berjudul 'Kata Anjing dalam Perspektif Linguistik Sunda' oleh Hera Meganova mengungkapkan bahwa anjing yang semula hanya nama untuk binatang, kini telah menjadi bahasa yang dipergunakan dengan beragam tujuan.
"Ada yang termasuk pada kata sapaan (kecap sesebutan), kata sebutan (kecap lalandihan), kata interjeksi (kecap panyeluk), kata hardikan (kecap pikeun nyarékanan), dan kata pementing (kecap panganteb)," kata Hera Meganova dalam jurnal itu.
Contoh Penggunaan Kata 'Anjing'
Sebagai Sapaan
"Hey, anjing. Kamana waé?"
(Hai, anjing. kemana saja?)
Sebagai Sebutan
"Urang nempo Si Anjing kamari basa keur lalajo wayang."
(Saya melihat Si Anjing kemarin waktu lagi nonton wayang)
Sebagai Interjeksi
"Anjing, alus kieu ieu topi cap uka-uka téh!"
(Anjing, bagus sekali ini topi cap uka-uka)
Sebagai Hardikan
"Modar sia anjing, babi! Marieus tah beungeut!"
(Mati kamu anjing, babi! Terpelanting tuh muka!)
Sebagai Pementing
Dalam hal ini, 'anjing' sebagai kata ganti untuk seseorang yang kehadirannya ditekankan, menganggap penting kehadirannya.
"Rék mantog ka mana sia, anjing?"
(Mau pergi ke mana kamu, anjing?)











































