Setelah menunggu lebih dari sebulan sejak penutupan aktivitas tambang dan pembatasan angkutan material di wilayah barat Kabupaten Bogor, ribuan warga akhirnya mulai menerima dana kompensasi dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Sebanyak 9.000 lebih kepala keluarga (KK) dari Kecamatan Cigudeg, Rumpin, Rengasjajar, Parung Panjang, dan sekitarnya terdata sebagai penerima bantuan . Untuk tahap pertama, bantuan diberikan sebesar Rp3 juta per KK kepada 928 penerima di Kecamatan Parung Panjang untuk periode bulan November.
Penyaluran dilakukan secara nontunai langsung ke rekening masing-masing warga. Total anggaran tahap pertama ini mencapai hampir Rp6 miliar, bersumber dari Dana Tak Terduga (DTT) APBD Jabar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Jabar Ade Afriandi menjelaskan, proses verifikasi dan penyaluran masih terus berjalan di beberapa kecamatan lain.
"Hari ini ada dua kerjaan teknis. Pertama, dari 1.001 kepala keluarga di Parung Panjang, yang sudah terverifikasi sebanyak 928 dan langsung kami salurkan bantuannya. Prosesnya tidak tunai, semuanya melalui rekening," ujar Ade, (3/11/2025).
Menurutnya, masih ada sekitar 2.010 warga di Kecamatan Cigudeg dan Parung Panjang yang kini menunggu proses pembukaan rekening di Bank BJB. Selain itu, sekitar 6.000 warga lainnya masih dalam tahap melengkapi dokumen dan verifikasi data.
"Total sementara 9.628 KK. Angka ini bisa bertambah karena ada dua desa, Cipinang dan Rengasjajar, yang datanya belum seluruhnya masuk. Wilayah itu paling banyak tambangnya dan paling terdampak," ujarnya.
Ade menyebutkan, data awal warga terdampak diusulkan oleh 19 desa melalui aplikasi Biro Perekonomian. Pemerintah kemudian melakukan verifikasi berdasarkan kategori pekerjaan.
"Kita cocokkan data sesuai dengan jenis pekerjaannya, sopir, buruh angkut, pedagang sekitar kuari, tambal ban, hingga bengkel. Mereka yang kehilangan penghasilan akibat penutupan tambang masuk dalam kategori penerima," jelasnya.
"Sisanya akan diselesaikan dalam satu hingga dua minggu ke depan. Semua akan mendapat kompensasi Rp3 juta untuk November, dan direncanakan kembali pada Januari mendatang," tambahnya.
Sementara Gubernur Jabar Dedi Mulyadi menegaskan, pemberian kompensasi ini merupakan langkah awal dari kebijakan yang lebih besar untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat sekitar tambang.
"Di 2026 nanti kami siapkan pembayaran dua bulan ke depan. Jadi November ini Rp3 juta, dan Januari nanti Rp6 juta. Total Rp9 juta untuk tiap penerima," ujar Dedi.
Dedi juga mengungkapkan tengah menyiapkan formulasi baru dalam pengelolaan pajak tambang agar lebih adil dan transparan. Saat ini, penerimaan pajak dari tambang mencapai sekitar Rp100 miliar ke kabupaten dan Rp25 miliar ke provinsi.
"Kalau dihitung benar, bisa lima kali lipat. Selama ini masih manual, nanti kita ubah ke sistem digital. Kalau pajaknya terkelola baik, warga bisa dapat penghasilan tetap dari hasil pajak itu. Saya ingin distribusi pajak ini adil, bukan hanya untuk tambang tapi semua industri," tegasnya.
Menurut Dedi, berbagai solusi teknis tengah disiapkan, mulai dari pengaturan jalur angkutan tambang hingga pembebasan lahan untuk jalan khusus. Namun, ia menekankan bahwa inti kebijakan ini bukan sekadar soal infrastruktur, melainkan tentang keadilan sosial bagi masyarakat di sekitar tambang.
"Pertambangan harus melahirkan keadilan. Saya tidak mau lagi lihat kuli tambang tanpa asuransi, orang meninggal tak dapat santunan, atau pekerja diupah rendah. Bahan baku murah dari tambang menghasilkan properti mahal di kota. Maka yang saya perjuangkan bukan sekadar kompensasi, tapi keadilan," ujar Dedi.
(bba/yum)










































