DPRD Jabar: Larangan Siswa Bawa Kendaraan Lebih Cocok Diterapkan di Wilayah Perkotaan

DPRD Jabar: Larangan Siswa Bawa Kendaraan Lebih Cocok Diterapkan di Wilayah Perkotaan

Bima Bagaskara - detikJabar
Sabtu, 01 Nov 2025 16:30 WIB
Wakil Ketua DPRD Jabar Ono Surono.
Wakil Ketua DPRD Jabar Ono Surono. (Foto: Anindyadevi Aurellia/detikJabar)
Bandung -

Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang melarang peserta didik membawa dan mengendarai kendaraan pribadi ke sekolah mulai menuai tanggapan dari berbagai pihak.

Aturan yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 45/PK.03.03/KESRA itu menjadi bagian dari langkah pembangunan pendidikan menuju terwujudnya Gapura Panca Waluya.

Namun di mata DPRD Jawa Barat, penerapan aturan tersebut sebaiknya dilakukan secara bertahap dan menyesuaikan dengan kondisi tiap daerah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Wakil Ketua DPRD Jabar, Ono Surono, menilai kebijakan ini akan lebih efektif jika diterapkan di wilayah perkotaan, di mana jarak antara tempat tinggal siswa dan sekolah relatif dekat serta memiliki fasilitas pendukung yang memadai.

"Tentunya kebijakan itu harus didasari oleh berbagai pertimbangan. Pertama, dari sisi jarak, maka yang disampaikan gubernur cukup bagus yaitu jarak yang dekat diprioritaskan jalan kaki," ujar Ono saat dihubungi, Sabtu (1/11/2025).

ADVERTISEMENT

Menurut Ono, di kawasan perkotaan seperti Bandung, Bekasi, atau Depok, sistem zonasi sekolah sudah cukup mendukung penerapan larangan ini. Siswa umumnya bersekolah di radius yang masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau bersepeda.

"Kalau wilayah kota dengan zonasi itu bisa ditempuh. Tinggal dilihat sekolah dengan radius berapa kilometer itu diharapkan bisa menggunakan sepeda atau jalan kaki," ujarnya.

Selain jarak, kebijakan ini juga dinilai penting untuk menekan kebiasaan pelajar yang berkendara tanpa surat izin mengemudi (SIM). Menurutnya, keselamatan pelajar menjadi alasan utama mengapa kebijakan ini perlu dijalankan, meski dengan ukuran yang jelas.

"Penggunaan kendaraan itu banyak sebelumnya digunakan siswa yang belum memiliki SIM. Jadi menurut saya aturan ini bisa diterapkan tapi nanti dihitung jaraknya. Kalau misalnya 1 kilometer masih cukup wajar, atau dari sisi waktu tempuh 30 menit dengan jalan kaki. Jadi kita punya ukuran yang jelas," jelasnya.

Ono juga menyebut, rencana pemerintah untuk berkoordinasi dengan Dinas Bina Marga dalam penyediaan trotoar aman dan nyaman bagi pelajar adalah langkah yang tepat. Fasilitas pendukung seperti itu menjadi syarat mutlak jika kebijakan ingin benar-benar berjalan efektif di kawasan perkotaan.

"Paling tidak kalau bicara akan disiapkan trotoar hingga instalasi air minum, itu konsep untuk perkotaan," katanya.

Namun, Ono mengingatkan bahwa aturan ini belum tentu bisa diterapkan secara merata di seluruh Jawa Barat. Ia menilai masih banyak daerah yang memiliki kondisi geografis berbeda, seperti Indramayu, Cirebon, Cianjur, dan Sukabumi, di mana jarak antara rumah dan sekolah bisa mencapai beberapa kilometer dan akses angkutan umum masih terbatas.

"Saya yakin untuk wilayah tertentu kebijakannya tidak berlaku secara umum. Ada kekhususan di daerah yang tidak ada angkutan dan sekolahnya jauh. Saya yakin mereka masih bisa menggunakan kendaraan," katanya.

Ia menambahkan, akan tidak manusiawi jika siswa di daerah terpencil dipaksa berjalan kaki hingga lima kilometer untuk sampai ke sekolah. Karena itu, pemerintah perlu membuat mekanisme penerapan yang fleksibel dan adil.

"Untuk daerah terpencil tidak diterapkan pola itu. Kalau misalnya sampai lima kilometer, kasihan juga anaknya harus berangkat jam berapa dengan masuk sekolah setengah tujuh," tutup Ono.

(bba/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads