Populasi hewan jenis Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) dan kucing hutan di Taman Wisata Alam (TWA) Cagar Alam Pananjung, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, kini mulai langka. Berdasarkan pemantauan pengelola, jumlah kedua satwa ini terus berkurang.
Kedua hewan tersebut kini jarang terlihat di permukaan. Namun, jika menjelajah hingga ke kawasan yang lebih dalam, pengelola masih dapat menemukan satu atau dua ekor.
Kepala Resor Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Pangandaran, Kusnadi, mengatakan hasil laporan survei bulanan menunjukkan Kukang Jawa dan kucing hutan menjadi dua satwa yang paling langka di kawasan tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu yang paling langka. Sementara yang lain seperti rusa, lutung, landak, merak, dan elang Jawa yang memang asli sini, masih dalam tahap aman," ujar Kusnadi kepada detikJabar belum lama ini.
Menurutnya, populasi kukang kini hampir punah. Berdasarkan data penyerahan dari masyarakat, hanya tersisa 17 ekor kukang dari dulu hingga sekarang.
"Padahal sebelumnya pernah ada puluhan," katanya.
Kusnadi menjelaskan, Kukang Jawa biasanya ditemukan di area yang banyak ditumbuhi bambu. Dahulu, mereka banyak bersarang di kawasan Cikamal.
"Perkiraan kami dulu ada sekitar 60-70 ekor. Entah mereka keluar kawasan atau berpindah tempat, tapi habitatnya memang mulai berkurang," ujarnya.
Sementara itu, populasi kucing hutan juga semakin jarang terlihat.
"Kadang muncul di area basecamp, tapi tidak sempat kami foto karena cepat sekali menghilang," katanya.
Dari sisi ketersediaan pakan, menurut Kusnadi, seharusnya tidak ada masalah.
"Kecuali memang dimangsa atau karena kondisi ekosistemnya. Bisa saja yang tersisa hanya betina atau sebaliknya," jelasnya.
Kusnadi menambahkan, sejak dulu jumlah kucing hutan di TWA memang tidak banyak dan hanya tinggal di area tertentu.
"Hasil survei terakhir menemukan dua ekor kucing hutan di cagar alam. Mudah-mudahan bisa berkembang biak lagi. Jenis kelaminnya belum diketahui karena pengamatannya harus dengan cara yang aman. Hewan itu cukup berbahaya," ungkapnya.
Ukuran kucing hutan, kata Kusnadi, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kucing peliharaan biasa.
"Ukurannya normal seperti kucing pada umumnya, hanya saja liar. Kadang orang mengira seperti macan," tuturnya.
Ia memastikan praktik perburuan satwa di kawasan Cagar Alam saat ini sudah tidak ada lagi.
"Perburuan saya pastikan sudah tidak ada," tegasnya.
Namun, Kusnadi menyebut sebelum pelarangan permanen diberlakukan, praktik penangkapan kalong atau kelelawar dengan layangan masih sempat terjadi.
"Kami selalu patroli, dan sekarang praktik menangkap kalong pakai layangan sudah tidak ada lagi. Tapi di luar kawasan, masih sesekali terpantau," katanya.
Menurutnya, populasi kalong banyak ditemukan di beberapa titik, baik di dalam kawasan cagar alam maupun di Pantai Barat Pangandaran.
"Jumlahnya tidak bisa dihitung pasti. Kalau ada masyarakat yang mengambil kalong sore hari pakai layangan, kami langsung dekati, karena kalau diambil terus bisa habis," ujarnya.
Kusnadi menambahkan, kalong sering diburu untuk dijual atau dijadikan obat.
"Pernah saat penangkapan, saya tanya, katanya kalong itu untuk obat, diambil amedunya saja, untuk obat sesak napas," tutupnya.
(tey/tey)











































