Dedi Mulyadi ke BPK, Klaim Realisasi APBD Jabar Berjalan Optimal

Dedi Mulyadi ke BPK, Klaim Realisasi APBD Jabar Berjalan Optimal

Rifat Alhamidi - detikJabar
Jumat, 24 Okt 2025 14:02 WIB
Gubernur Jabar Dedi Mulyadi
Gubernur Jabar Dedi Mulyadi (Foto: Rifat Alhamidi/detikJabar).
Bandung -

Perseteruan Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi dengan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa terus menjadi sorotan. Di berbagai media, keduanya saling silang argumen setelah Purbaya menyebut ada dana Rp 4,1 triliun APBD Jabar yang mengendap di bank.

Adu argumen keduanya soal realisasi belanja daerah rupanya belum mereda. Terkini, Dedi Mulyadi mendatangi Kantor Perwakilan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Jabar untuk meminta audit dilakukan secara transparan di sektor perencanaan keuangan hingga pengelolaan keuangan berupa belanja daerah.

"Hari ini kita ke BPK untuk meminta melakukan pendalaman audit terhadap kas Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Karena kan audit akhir tahun ini juga sedang berjalan, sehingga, nanti di sana bisa terlihat apakah Pemerintah Provinsi Jawa Barat memiliki perencanaan keuangan yang baik dan memiliki pengelolaan keuangan yang baik," katanya, Jumat (24/10/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dedi memastikan, selama kepemimpinannya, belanja Pemprov Jabar dilakukan tepat sasaran. Belanja modal pun diperbanyak seperti keperluan pembangunan jalan untuk kebutuhan masyarakat.

"Ketika misalnya tidak sesuai dengan RAB yang dimiliki, saya koreksi. Nah, ini yang menjadi orientasi. Sehingga output, outcome dan benefit publiknya bisa didapatkan," ucap Dedi Mulyadi.

ADVERTISEMENT

Di momen itu, Dedi menyinggung masalah kewenangan lembaga yang bertugas untuk memeriksa arus kas daerah yang saat ini sedang ramai jadi perbincangan dengan Menteri Keuangan. Dedi menyatakan, hanya dua lembaga yang berwenang melakukan pemeriksaan, yaitu BPK serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

"Dari sisi kewenangan pemeriksaan arus kas pemerintah Provinsi Jawa Barat, itu yang punya kewenangan itu cuma dua menurut saya. Yang pertama adalah BPK, yang kedua adalah BPKP," ungkapnya.

"Ini yang menjadi consern kita bertemu dengan Kepala BPK Perwakilan Jawa Barat hari ini. Kita meminta dilakukan audit dan diminta diumumkan hasil audit yang dilakukan," tambahnya.

Dedi Mulyadi mengatakan, hasil audit BPK untuk APBD 2025 akan diumumkan pada April 2026. Namun, ia meminta supaya hasil audit khusus untuk belanja daerah segera diumumkan agar komitmennya dalam urusan transparansi anggaran bisa dibuktikan.

"Memang pengumumannya kan nanti diumumkan biasanya kisaran bulan April. Tetapi khusus untuk belanja di Pemerintah Provinsi Jawa Barat ini agar segera dilakukan pengumuman hasil audit BPK Perwakilan Provinsi Jawa Barat. Itu yang pertama," bebernya.

Politikus Gerindra yang pernah menjabat sebagai Bupati Purwakarta itu kembali mengungkit kas daerah yang sempat disinggung Menteri Keuangan Purbaya karena mengendap di bank. Dedi Mulyadi pun memastikan, uang tersebut bersifat deposito dan giro yang bisa digunakan setiap saat oleh Pemprov Jabar.

Untuk deposito, Dedi Mulyadi menyatakan, dana yang disimpan itu bersifat on call. Artinya, kata dia, Pemprov Jabar bisa menggunakan uang itu kapanpun ketika dibutuhkan.

"Depositonya adalah deposito kas daerah, sifatnya on call. Nah, sifatnya on call ini kalau uang itu diperlukan, maka bisa diambil dalam setiap hari walaupun statusnya deposito. Bunganya itu tercatat, kan masuk lagi menjadi pendapatan daerah yang bersumber dari lain-lain pendapatan yang sah dan halal serta tidak mengikat menurut undang-undang," katanya.

Lalu soal giro, Dedi Mulyadi kemudian memberikan penjelasan panjang lebar. Intinya, giro itu akan menjadi dana yang digunakan secara bertahap oleh Pemprov Jabar untuk membayar berbagai macam proyek pembangunan.

"Kalau kemudian ada yang bertanya, kenapa kas daerahnya, uang yang tersedia di kas daerahnya ada Rp 2,4 triliun. Apakah itu termasuk pengendapan, jawabannya begini," kata Dedi Mulyadi.

"APBD Provinsi Jawa Barat itu Rp 31 triliun. Dari APBD Rp 31 triliun itu sampai dengan bulan Oktober itu ada di kas Rp 2,6 triliun. Kalau ditambah pendapatan Rp7,5 triliun lagi sampai bulan Desember, maka uang yang tersedia di Provinsi Jawa Barat sampai bulan Desember itu jumlahnya ada Rp.10 triliun."

"Maka dari R p31 triliun, ada Rp10 triliun yang nanti ada di kas dan rencana menjadi pendapatan baru, berarti sudah dibelanjakan uang itu sebesar gitu kan Rp 21 triliun. Jadi sampai bulan Oktober ini, pemerintah Provinsi Jawa Barat itu sudah belanja kurang lebih Rp.21 triliun gitu loh. Kas yang tersisa Rp 2,6 triliun. Pendapatan yang belum masuk 7,5 triliun."

"Artinya bahwa belanjanya jalan, tidak dalam kategori diendapkan. Nah, kenapa tidak dalam kategori diendapkan, karena uang yang Rp 2,6 triliun ini harus kami bayarkan pada kontraktor-kontraktor yang menjadi mitra Pemerintah Provinsi Jawa Barat."

"Yang bangun sekolah, yang bangun jalan lan, yang bangun irigasi, yang pasang PJU, yang pasang jaringan listrik. Ini kan terus kemudian harus bayar listrik, harus bayar air, harus bayar upah outsourcing."

"Nah, kenapa dibayarkannya bertahap, karena ini ada bagian dari pengendalian keuangan dan pengendalian pekerjaan. Misalnya begini, PT A memenangkan tender di pembangunan jalan Provinsi Jawa Barat sebesar Rp 1 triliun. Dari Rp1 triliun ini itu pasti ada yang namanya uang penawaran. Artinya dia nawar itu 90 persen, sehingga walaupun angka proyeknya Rp 1 triliun, yang harus dibayarkan ke kontraktor itu nanti adalah Rp900 miliar. Yang Rp100 miliar itu menjadi SILPA."

"Nah, kalau silpanya kalau pembayarannya terjadi pada bulan Maret, maka itu bisa menjadi silpa di perubahan anggaran dibelanjakan lagi. Kalau dibelanjanya terjadi setelah perubahan, maka itu di silpa bisa nyebrang."

"Tapi berdasarkan komunikasi kemarin dengan Kemendagri, silpa itu bisa tidak diseberangkan tapi dimasukin dalam BTT (belanja tak terduga) dan kemudian nanti dibelanjakan lagi untuk belanja-belanja yang tanggap darurat. Ada bencana, ada kemiskinan akut, ada orang yang yang lapar, ada orang yang sakit, yang harus ditolong rumah sakit, ini bisa."

"Nah, kemudian yangRp 900 miliar itu kita harus bayarkan bertahap. Tahap pertama kasih DP dulu 20 sampai 30 persen. Kemudian, tahap kedua kita nanti ada pembayaran lagi. Misalnya 40 persen. Tahap ketiga misalnya 40 persen lagi dengan DP 20 persen."

"Kenapa harus bertahap, karena kalau uangnya dibelanjakan sekaligus kepada pemborong, bagaimana kalau pemborongnya kualitas pekerjaannya buruk, bagaimana kalau tidak dikerjakan, maka ini menjadi pidana korupsi. Yang korupsinya kontraktornya karena tidak mengerjakan pemerintah. Tapi kepala PU-nya kena. Karena dia melakukan pembayaran, sedangkan yang dibayarkannya jasanya belum diberikan."

"Nah, ini kenapa ada angka-angka dan kenapa ada uang yang ada di kas daerah. Sehingga, seluruh rangkaian belanja kas daerah ini dinilainya kapan, dinilainya nanti pada tanggal 2 Januari 2026. Kalau di 2 Januari 2026 nanti ternyata sudah pengeluaran dan pendapatannya seimbang, sehingga angkanya nol atau angkanya 10 atau angka silpanya 20 atau 30, di situlah dilakukan penilaian," ucapnya.

Dedi Mulyadi menegaskan kedatangannya ke BPK Jabar bukan bentuk intervensi. Namun menurutnya, BPK merupakan salah satu lembaga yang punya kewenangan untuk memeriksa kas daerah apakah terjadi pengendapan atau tidak.

"Kalimatnya bukan bukan bentuk intervensi. Justru kedatangan ke BPK ini meminta BPK untuk melakukan pendalaman terhadap alur kas pemerintah Provinsi Jawa Barat, karena BPK yang punya kewenangan untuk melakukan pemeriksaan," katanya.

"Jadi yang menilai apakah ada anggaran yang diendapkan di Provinsi Jawa Barat, yang harus menyatakannya dalam BPK karena dia punya kewenangan melakukan audit," pungkasnya.




(ral/mso)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads