Saat Pertemuan di Bogor Membuat Cemas Washington DC

Lorong Waktu

Saat Pertemuan di Bogor Membuat Cemas Washington DC

Andry Haryanto - detikJabar
Minggu, 12 Okt 2025 07:00 WIB
Foto dokumen pertemuan petinggi lima negara asia di Bogor pada Desember 1954 untuk mematangkan pertemuan monunental Konferensi Asia Afrika
Foto dokumen pertemuan petinggi lima negara asia di Bogor pada Desember 1954 untuk mematangkan pertemuan monunental Konferensi Asia Afrika (Foto: Andry Haryanto)
Bandung -

Pada akhir Desember 1954, lima pemimpin Asia berkumpul di Istana Bogor. Udara pegunungan yang tenang kontras dengan ketegangan global di luar sana. Dari ruang pertemuan itulah lahir keputusan penting, yakni negara-negara Asia dan Afrika akan bertemu di Bandung untuk membicarakan nasib mereka sendiri. Pertemuan di Bogor menjadi jembatan antara gagasan dan kenyataan, antara wacana pascakolonial dan manuver Perang Dingin yang kian memanas.

Bagi Washington, keputusan di Bogor terdengar seperti sinyal halus dari Timur. Dari sanalah poros baru mulai terbentuk, kerja sama antarnegeri yang menolak berada sepenuhnya dalam orbit kekuatan besar mana pun.

Dalam konteks inilah, sebagaimana dicatat Amara Chinvanno dalam artikelnya Prince Wan Waithayakon and Thailand at the 1955 Bandung Conference, (Asian Studies Review, Vol. 47, No. 2, 2023, hlm. 45-78), Thailand menjadi salah satu pemain diplomatik yang menarik perhatian.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Prince Wan Waithayakon's participation in the Bandung Conference symbolised Thailand's attempt to balance its alignment with the United States while cautiously opening diplomatic channels to the People's Republic of China," tulis Chinvanno.
(Partisipasi Pangeran Wan Waithayakon dalam Konferensi Bandung melambangkan upaya Thailand menyeimbangkan kedekatannya dengan Amerika Serikat sambil secara hati-hati membuka jalur diplomatik menuju Republik Rakyat Tiongkok.)

ADVERTISEMENT

Chinvanno menambahkan, peran Pangeran Wan di Bandung sekaligus merepresentasikan posisi Thailand yang berada di antara dua poros kekuatan dunia. Di Bandung, Pangeran Wan bertindak bukan hanya sebagai perwakilan Thailand, tetapi juga sebagai utusan Dunia Bebas yang diharapkan Washington untuk menyuarakan sikap moderat dan tidak konfrontatif di tengah meningkatnya sentimen anti-Barat.

Namun, jauh sebelum Bandung berlangsung, kegelisahan Washington sudah menguat sejak para pemimpin Kolombo menutup pertemuan Bogor dengan keputusan resmi pada 29 Desember 1954, Konferensi Asia-Afrika akan diselenggarakan di Bandung pada April 1955.

Dari perspektif Amerika Serikat, Bogor adalah titik yang menandai lahirnya gerakan politik Asia yang berpotensi keluar dari kendali (barat).

Seperti dicatat oleh Kweku Ampiah dalam bukunya The Political and Moral Imperatives of the Bandung Conference of 1955: The Reactions of the US, UK, and Japan (London: Routledge, 2007), "The United States initially viewed the Bogor and Bandung initiatives as dangerously sympathetic to the communist cause, but later sought to mitigate their impact by ensuring participation of non-communist allies." (Amerika Serikat pada awalnya memandang inisiatif Bogor dan Bandung sebagai langkah yang berbahaya karena bersimpati pada gerakan komunis, namun kemudian berupaya mengurangi dampaknya dengan memastikan kehadiran sekutu non-komunis.)

Sepuluh hari sebelum pertemuan Bogor, Menteri Luar Negeri AS John Foster Dulles telah mengirim telegram ke Duta Besar AS di Jakarta. Ia memerintahkan agar Amerika tidak menampakkan minat apa pun terhadap rencana konferensi tersebut.

Namun, strategi itu tak berlangsung lama. Ketika London menilai bahwa konferensi sulit dicegah, Washington berubah arah.

"Lebih baik hadir lewat sekutu daripada absen sepenuhnya," tulis Ampiah.

Maka dimulailah serangkaian instruksi rahasia ke berbagai kedutaan besar di Asia. Amerika Serikat mendorong negara-negara seperti Thailand dan Filipina untuk datang ke Bandung, membawa pesan dan menjaga agar forum itu tidak sepenuhnya dikuasai gagasan anti-Barat.

Di titik inilah Pangeran Wan Waithayakon mendapat peran simbolik. Ia diharapkan menjadi suara moderat di antara dua blok besar, sekaligus bukti bahwa Asia belum sepenuhnya berpaling dari Barat.

Bagi Washington, Bogor bukan hanya lokasi pertemuan lima negara, tetapi juga panggung awal di mana Asia menulis bab baru dalam sejarah diplomasi dunia. Bab yang memaksa Amerika Serikat untuk tidak lagi memandang Timur sebagai kawasan yang dapat dikendalikan, melainkan sebagai kawasan yang mulai berbicara dengan suaranya sendiri.

(yum/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads