16 Tahun Hilang, Ibu di Sukabumi Pulang dengan Tubuh Penuh Luka

16 Tahun Hilang, Ibu di Sukabumi Pulang dengan Tubuh Penuh Luka

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Selasa, 30 Sep 2025 12:30 WIB
Saodah ditemani putranya Heri, berulangkali mengucap syukur bisa pulang ke kampung halaman setelah 15 tahun tanpa kabar
Saodah ditemani putranya Heri, berulangkali mengucap syukur bisa pulang ke kampung halaman setelah 15 tahun tanpa kabar (Foto: Syahdan Alamsyah/detikJabar)
Sukabumi -

Seorang perempuan paruh baya duduk di bangku kayu, kerudung biru menutup kepalanya. Sorot matanya kosong menatap ke halaman depan rumah panggung di Kampung Nangerang, Desa Purwasedar, Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi. Kepulangan yang seharusnya disambut dengan bahagia, justru hadir dalam balutan luka dan cerita getir.

Dia adalah Saodah (56), seorang ibu yang baru saja kembali setelah 16 tahun menghilang di negeri orang. Tubuhnya masih menyimpan luka, sebagian membekas di kulit, sebagian lagi terpatri dalam batin.

Kalimat berangkat dengan mimpi, pulang membawa luka rupanya benar-benar dirasakan Saodah. Pada April 2009 silam, ia meninggalkan kampungnya dengan penuh harapan. Seperti banyak perempuan lain di pelosok desa, ia percaya bekerja di Arab Saudi bisa menjadi jalan untuk membahagiakan keluarga.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia mendaftar melalui sebuah perusahaan jasa tenaga kerja di Jakarta, lalu berangkat dengan perasaan campur aduk cemas sekaligus penuh harapan.

Namun setibanya di Riyadh, semua mimpi itu runtuh. Alih-alih bekerja layaknya tenaga kerja resmi, ia justru terjebak dalam lingkaran penyiksaan.

ADVERTISEMENT

"Niat saya ke Arab Saudi itu untuk bekerja, tapi tiba di sana saya malah dipukulin sama majikan, jadi memang selama bekerja saya dipukulin sama majikan, terus dipukulin," kisahnya dengan suara lirih saat ditemui detikJabar, Selasa (30/9/2025).

Penderitaan itu bukan hanya soal pukulan. Saodah bercerita ia nyaris menjadi korban pelecehan. Ia tak pernah diperbolehkan memiliki telepon genggam untuk sekadar menghubungi keluarga.

"Saya mau diperkosa sama majikan itu, saya enggak bisa komunikasi ke kampung halaman, beli hp enggak boleh. Saya dimarahi terus. Di Saudi itu 16 tahun, jadi enggak bisa komunikasi dengan keluarga. Penyiksaan terus saya alami," ucapnya.

Cerita paling menggetarkan datang saat ia diperlakukan layaknya budak. Tiga kali ia dirantai pada tiang besi di luar rumah, dijemur di bawah terik matahari, lalu dipukuli majikan laki-laki sambil disiram air.

"Saya cuma bisa menangis, enggak makan, minta uang buat beli makan malah dimarahin," ungkapnya. Luka di paha dan punggungnya masih terasa, bekas pukulan dengan berbagai benda, bahkan gagang sapu.

Soal gaji pun tak sebanding dengan derita yang ditanggung. Selama 16 tahun, ia hanya menerima Rp140 juta, itu pun berupa cek yang tak bisa dicairkan. Semua jerih payahnya seolah terbuang percuma.

Keluarga Menunggu dalam Ketidakpastian

Hilangnya Saodah membuat resah. Di kampung halamannya, keluarga menjalani hari-hari panjang penuh tanda tanya. Putranya, Heri, kehilangan waktu bersama sang ibu. Ia masih ingat bagaimana keluarganya berulang kali mencari kabar.

"Selama 16 tahun pernah laporan, ke pihak desa, ke pihak sponsor. Hanya sponsor waktu itu bilang enggak tahu, lapor ke desa hingga kecamatan kalau ke polsek belum pernah," tutur Heri.

Saodah ditemani putranya Heri, berulangkali mengucap syukur bisa pulang ke kampung halaman setelah 15 tahun tanpa kabarSaodah dan anak laki-lakinya Heri Foto: Syahdan Alamsyah/detikJabar

Namun, semua usaha itu tak kunjung membuahkan hasil. Hingga akhirnya, keluarga mencoba jalan lain: mendatangi 'orang pintar'. Jawabannya justru semakin menyesakkan dada.

"Sampai kami pernah ke orang pintar katanya sudah meninggal," kenangnya.

Bayangan Saodah yang tak pernah kembali perlahan berubah menjadi duka. Bagi keluarga, Saodah dianggap sudah tiada, meski tanpa jasad.

Keajaiban itu akhirnya datang pada 25 Mei 2025. Setelah melalui proses panjang penuh perjuangan, keluarga akhirnya bisa membawa Saodah pulang. Bukan kabar kematian yang mereka terima, melainkan sosok Saodah yang masih hidup meski dengan tubuh ringkih, luka-luka yang belum pulih, dan trauma yang masih membekas.

Kepulangan itu seolah menjadi akhir dari penantian panjang. Namun kepulangan ini jauh dari kata bahagia. Saodah tidak pulang dengan cerita sukses membawa uang dan oleh-oleh, melainkan dengan beban luka batin yang sulit terbayar.

Saat Heri menggandeng ibunya turun dari rumah panggung, tampak jelas betapa berat penderitaan yang pernah ditanggungnya. Sesekali Saodah menatap kosong, seolah bayangan rantai, pukulan, dan teriknya matahari Riyadh masih mengejar dalam ingatan.

Kini, di teras rumah yang dindingnya masih dari anyaman bilik, Saodah mencoba mengumpulkan sisa tenaganya. Setiap hari ia ditemani Heri, putra yang tak pernah berhenti menanti kepulangannya.

"Rasanya seperti mimpi. Dulu saya pikir ibu sudah meninggal, tapi ternyata masih bisa kembali. Walaupun keadaannya begini, tetap saya syukuri," ujar Heri dengan suara bergetar.

(sya/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads