Program Bioskop Trans TV malam ini akan menayangkan salah satu film paling kontroversial dan bersejarah di Indonesia, Pengkhianatan G30S/PKI. Film ini dijadwalkan hadir pada Sabtu, 27 September 2025, pukul 23.00 WIB.
Film Pengkhianatan G30S/PKI pertama kali dirilis pada 1984. Karya ini disutradarai oleh Arifin C. Noer, seorang sineas ternama Indonesia yang dikenal dengan gaya penceritaan teaterikal namun detail. Produksinya digarap oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN) dengan dukungan penuh dari pemerintah Orde Baru saat itu.
Sejumlah aktor dan aktris papan atas Indonesia turut terlibat dalam film ini, di antaranya Amoroso Katamsi, Umar Kayam, Ade Irawan, Syubah Asa, dan Alex Komang. Kehadiran mereka memberi warna tersendiri dalam membangun karakter-karakter yang mengisi narasi film.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Fakta Menarik Film Pengkhianatan G30S/PKI
Film ini sempat wajib ditayangkan setiap tahun di televisi nasional pada era Orde Baru, terutama menjelang tanggal 30 September. Tujuannya untuk menanamkan ingatan kolektif masyarakat mengenai peristiwa kelam 1965 sesuai dengan sudut pandang pemerintah saat itu.
Dengan durasi sekitar 4 jam 30 menit, film ini menjadi salah satu film terpanjang dalam sejarah perfilman Indonesia. Adegan-adegannya dikenal penuh dengan dramatisasi dan visualisasi yang cukup detail mengenai peristiwa penculikan hingga penemuan jenazah para jenderal di Lubang Buaya.
Meski menuai banyak kritik setelah reformasi, terutama karena dianggap hanya merepresentasikan versi tunggal sejarah, film ini tetap menjadi bahan perbincangan hingga kini. Setiap kali diputar di televisi, antusiasme masyarakat tetap tinggi, baik untuk mengenang maupun meninjau kembali kontroversi yang melekat padanya.
Sinopsis Film Pengkhianatan G30S/PKI
Film Pengkhianatan G30S/PKI membuka kisahnya dengan gambaran situasi politik Indonesia pada tahun 1965. Ketegangan yang meningkat antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Angkatan Darat menjadi latar utama cerita.
Narasi kemudian berkembang dengan memperlihatkan adanya intrik politik dan rencana kudeta yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri mereka Gerakan 30 September (G30S). Dari sinilah, konflik mulai meruncing dan membentuk jalan cerita utama.
Pada malam 30 September hingga dini hari 1 Oktober 1965, para tokoh militer tinggi Angkatan Darat menjadi target utama gerakan tersebut. Film menggambarkan secara dramatis proses penculikan para jenderal, lengkap dengan suasana mencekam di rumah-rumah mereka.
Adegan semakin intens saat para jenderal diculik dan mengalami perlakuan kejam di sebuah lokasi rahasia. Film ini menekankan sisi brutal peristiwa, sehingga menimbulkan kesan mendalam bagi penonton.
Di sisi lain, terjadi kekosongan kepemimpinan di tubuh Angkatan Darat. Dalam situasi tersebut, muncul sosok Mayor Jenderal Soeharto yang mengambil inisiatif memimpin. Film menggambarkannya sebagai tokoh tegas yang segera menyusun strategi.
Operasi militer kemudian dilancarkan untuk menumpas gerakan tersebut. Adegan penuh aksi dan ketegangan disajikan ketika pasukan bergerak merebut kembali markas militer yang sempat dikuasai G30S.
Puncak ketegangan muncul ketika jenazah tujuh jenderal ditemukan di sebuah sumur tua di Lubang Buaya. Adegan ini menjadi salah satu bagian paling ikonik sekaligus mengakhiri jalannya cerita.
Film menutup narasinya dengan penegasan bahwa Angkatan Darat berhasil menggagalkan kudeta, sekaligus menandai berakhirnya gerakan G30S. Namun, akhir cerita ini juga menyisakan pertanyaan besar tentang sejarah yang selalu menarik untuk dikaji ulang.
(tya/tey)