Jaarbeurs dan Keseruan Bazar Malam di Bandung

Lorong Waktu

Jaarbeurs dan Keseruan Bazar Malam di Bandung

Nur Khansa Ranawati - detikJabar
Sabtu, 27 Sep 2025 08:00 WIB
Pertemuan di Jaarbeurs
Pertemuan di Jaarbeurs (Foto: Dok. Tropenmuseum).
Bandung -

Predikat Kota Bandung sebagai kota kreatif dan destinasi wisata agaknya memiliki akar yang jauh menembus masa kolonial. Sejak akhir abad ke-19, Bandung telah menjadi panggung berbagai aktivitas sosial dan ekonomi yang melibatkan banyak kalangan. Salah satu acara yang pernah menyedot perhatian besar adalah Jaarbeurs, sebuah pasar malam yang dimeriahkan oleh para pedagang Bandung di era kolonial Belanda.

Dilansir dari penelitian Melacak Akar Kreativitas di Kota Bandung Masa Kolonial (Achmad Sunjayadi : 2020), pasar malam tersebut berawal dari dibentuknya semacam asosiasi yang mengurus kegiatan turisme di Bandung, yakni Vereeniging Tot Nut van Bandoeng en Omstreken (Perhimpunan Kesejahteraan Bandung dan Sekitarnya).

Asosiasi tersebut dibentuk atas gagasan Asisten Residen Pieter F. Sijthoff di tahun 1898. Kala itu, ia menggandeng pengusaha, guru, pemilik toko, bahkan tokoh pribumi untuk bergabung ke dalam asosiasi tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perhimpunan ini sempat aktif dengan ratusan anggota, namun kemudian bubar ketika Bandung berubah status menjadi gemeente atau kotapraja pada 1906. Meski bubar, banyak pihak yang menilai bahwa Bandung tetap membutuhkan wadah kegiatan sosial-ekonominya.

Untuk itu, berbagai pihak lalu membentuk ComitΓ© tot Behartiging van Bandoeng's Belangen (Komite Representasi Kepentingan Bandung) yang kemudian menjadi motor lahirnya berbagai kegiatan sosial ekonomi di Bandung. Salah satu kegiatan yang berhasil diselenggarakan adalah Jaarbeurs, yang dalam bahasa Belanda berarti "pameran tahunan."

ADVERTISEMENT
Pertemuan di JaarbeursSalah satu sesi acara di Jaarbeurs (Foto: Dok. KITLV).

Jaarbeurs pertama kali diselenggarakan di tahun 1920 di sebuah gedung khusus bergaya Art Deco, hasil rancangan dua arsitek kenamaan, C.P. Wolff Schoemaker dan R.L.A. Schoemaker. Penggagas utama acara tersebut adalah Wali Kota Bandung, B. Coops, bersama komunitas wisata Bandoeng Vooruit.

Konsepnya bisa dibilang serupa Pekan Raya Jakarta saat ini, di mana terdapat pameran produk industri, pertanian, dan kebudayaan, sekaligus pesta rakyat (yang didominasi warga Eropa) dengan hiburan malam. Pameran ini menjadi ajang promosi berbagai lini usaha yang ada di Bandung, sembari menarik wisatawan dari berbagai daerah.

Penelitian Ai Santineu dalam skripsinya bertitel Jaarbeurs 1920-1941: Media Promosi Industri dan Ekonomi Masyarakat Bandung menyebutkan bahwa Jaarbeurs punya peran besar sebagai media promosi. Maskapai transportasi kala itu bahkan memberi tarif khusus bagi penumpang yang ingin menghadiri Jaarbeurs.

Selain itu, muncul juga jasa penyewaan mobil, pedagang makanan, hingga hiburan rakyat yang mendadak ramai. Jaarbeurs juga disebut-sebut membuat Bandung menjadi titik temu berbagai budaya. Produk-produk impor, teknologi baru, hingga gaya hidup modern dipamerkan berdampingan dengan aneka hiburan.

Berdasarkan arsip-arsip foto yang dirilis Tropenmuseum dan Universitas Leiden Belanda, tampak berbagai stand pelaku usaha hadir di Jaarbeurs dengan dekorasinya masing-masing, sebagaimana sebuah pameran masa kini. Beberapa merek yang tampil di antaranya Madame Blanche Cream, Java Bier, Obat Mata, hingga Bedak Violet Lam Hwa Semarang.

Ada pula "Ramboet Netjis" yang menawarkan produk perawatan rambut. Di sisi lain, toko-toko terkenal ikut ambil bagian, seperti Au Bon Marche, butik busana elegan di Braga yang tersohor hingga Batavia. Selain itu, barang-barang lainnya yang dijajakan juga sangat beragam. Mulai dari kamera, keramik dan perabotan kaca, furnitur, perkakas, dan sebagainya.

Panggung Seni Basoeki Abdullah

Dilansir dari buku Album Bandoeng Tempo Doeloe karya Sudarsono Katam dan Lulus Abadi, salah satu kisah menarik dari Jaarbeurs adalah ketika maestro seni Lukis Indonesia, Basuki Abdullah mendapatkan kesempatan memamerkan karyanya di Jaarbeurs tahun 1933. Ia mendapat dukungan dari Schoemaker sang arsitek gedung Jaarbeurs, yang merupakan pengagum karya-karya Basuki Abdullah.

Kesempatan itu sangat berharga, sebab pameran biasanya didominasi oleh seniman Eropa. Basuki spun disebut sempat meminta pendapat Raden Mas Sosrokartono, kakak dari R.A. Kartini, untuk menentukan karya mana yang layak ditampilkan. Sosrokartono kemudian menyarankan lukisan Pertempuran Gatotkaca dan Antasena.

Karya tersebut sukses besar. Pengunjung terpukau melihat semburan api dan petir yang dilukiskan Basuki. Bahkan, banyak yang meletakkan uang di bawah lukisan itu sebagai bentuk apresiasi.

Dari Pameran hingga Markas Militer

Setelah Jaarbeurs beberapa lama diselenggarakan di gedung semi-permanen, gedung Jaarbeurs kemudian selesai dibangun di tahun 1925. Hingga saat ini, gedung bekas penyelenggaraan bazar tersebut masih megah berdiri di Jalan Aceh nomor 50, Kota Bandung.

Bangunannya pun tidak berubah, dan masih memajang tulisan "Jaarbeurs" di bagian fasad depan. Lengkap dengan tiga patung torso pria yang ikonik karena sempat dinilai terlalu vulgar, sebelum akhirnya ditutup sebagian.

Gedung Jaarbeurs saat ini difungsikan menjadi Markas Komando Pendidikan dan Pelatihan Komando Daerah Militer III/Siliwangi. Namanya lebih dikenal sebagai Gedung Kologdam, dan kerap dijadikan tempat perhelatan resepsi pernikahan warga di akhir pekan.

Halaman 2 dari 3
(mso/mso)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads