Reni Rahmawati menyimpan mimpi yang sederhana, yakni memperbaiki nasib keluarga. Gadis asal Cisaat, Kabupaten Sukabumi itu berencana menempuh pendidikan bahasa agar bisa bekerja legal ke luar negeri.
Saat masih bekerja di pabrik, ia menerima tawaran pekerjaan bergaji besar dari seseorang di media sosial. Ia dijanjikan penghasilan Rp 15-30 juta per bulan, angka yang sangat menggiurkan.
Ia pun mengikuti arahan seseorang yang mengaku bisa memberangkatkannya, termasuk mengurus paspor di Bogor. Di balik proses itu, Reni ternyata dijebak. Ia dipaksa menikah dengan modus menghadirkan wali dan saksi palsu, lalu dibawa ke Jakarta dan diterbangkan ke Cina. Sesampainya di sana, ia langsung dijemput agen dan disekap di lokasi yang tak jelas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama hampir dua bulan keluarganya tidak tahu keberadaannya. Baru kemudian Reni mengirim pesan kepada ibunya. Dalam pesan itu ia menangis meminta tolong, mengaku disekap dan dijadikan pelampiasan nafsu. Reni juga mengirimkan lokasi yang menunjukkan posisinya yang berada di Cina.
Yang lebih memilukan, Reni tidak pernah menerima gaji. Ia hanya diberi makan seadanya untuk bertahan hidup. Ketika meminta pulang, orang yang menahannya justru meminta uang tebusan Rp200 juta.
Kuasa hukum keluarga, Rangga Suria Danuningrat, menyebut Reni disekap dan bahkan diminta tebusan Rp200 juta oleh pihak yang menahannya. "Kami sudah lapor ke pihak terkait, termasuk rencana ke BP2MI," kata Rangga.
Bagi keluarga, Reni bukan sekadar korban TPPO. Ia adalah anak yang dikenal penyayang, bercita-cita besar, dan ingin memperbaiki hidup keluarga. Kini mereka berharap aparat kepolisian dan pemerintah bisa memulangkan Reni secepatnya, sebelum kondisinya semakin memburuk.
Perjuangan Ibu Kumpulkan Uang Tebusan
Di balik peristiwa itu, ada Emalia (55) sang ibu. Setiap pagi, sebelum matahari meninggi, ia melangkah sendirian menapaki jalan sepanjang tiga hingga empat kilometer menuju pabrik kue di Cikiray.
Perjalanan kaki nyaris satu jam itu ia jalani empat kali sepekan. Upahnya tak seberapa, sekitar Rp50 ribu sehari, namun bagi Emalia, setiap rupiah berarti harapan memulangkan anak bungsunya, Reni (23), yang diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di China.
"Berangkat jam enam, nyampe jam tujuh. Kerja bungkus kue sampai sore," ucap Emalia lirih dengan matanya yang redup namun tegas saat ditemui, Jumat (19/9/2025).
Penghasilannya dipakai untuk kebutuhan makan dan bayar kontrakan. Sebagian lagi diam-diam ia sisihkan, meski tipis, untuk biaya pemulangan Reni.
Reni awalnya pamit bekerja di sebuah pabrik di Cikembar. Namun tiga bulan setelah kepergiannya, telepon dari sang anak justru membuat Emalia gelisah.
Emalia mengingat, Reni memang pernah bercita-cita bekerja ke luar negeri, sempat ingin ke Jepang. "Saya sudah larang, kakeknya juga. Tahu-tahu dia udah di sana," katanya pelan. Kini, setiap detik adalah penantian.
Di rumah, Emalia tinggal bersama putra sulungnya yang mengalami keterbatasan mental. Ayah Reni telah lama pergi. Dalam keterbatasan itu, ia menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga.
"Kalau saya nggak kerja, kami nggak bisa makan," ujarnya.
Langkah Emalia meniti jalanan Cisaat bukan sekadar perjalanan fisik. Setiap tapaknya adalah doa agar pintu rumah itu kembali diketuk Reni. Ia tak pernah mengeluh, meski tubuh renta sering memaksa berhenti. "Mudah-mudahan cepat pulang," harapnya.
Di balik tirai merah muda yang menutupi dinding rumahnya, Emalia duduk bersandar, menahan rindu. Tak ada yang bisa ia lakukan selain bekerja, berdoa, dan menunggu. Dalam setiap langkahnya yang tegar, tersimpan keyakinan bahwa suatu hari Reni akan pulang, bukan sekadar kabar dari seberang, tetapi hadir kembali dalam dekapannya.
(yum/yum)