Sorotan Pakar soal Tragedi Ibu-Anak di Banjaran: Tekanan Sosial-Mental

Sorotan Pakar soal Tragedi Ibu-Anak di Banjaran: Tekanan Sosial-Mental

Rifat Alhamidi - detikJabar
Rabu, 10 Sep 2025 13:00 WIB
Kondisi kontrakan penemuan tiga jenazah di Kampung Cae, Desa Kiangroke, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, Jumat (5/9/2025).
Kondisi kontrakan penemuan tiga jenazah di Kampung Cae, Desa Kiangroke, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, Jumat (5/9/2025). Foto: Yuga Hassani/detikJabar
Bandung -

Kematian ibu dan kedua anaknya, EN (34), AA (9) dan AAP (11 bulan) di Banjaran, Kabupaten Bandung, menyisakan duka yang mendalam. Sorotan pun kini banyak disuarakan supaya tragedi memilukan itu tidak lagi terulang.

Sebagaimana diketahui, ketiganya ditemukan tak bernyawa di dalam kontrakan Kampung Cae, Desa Kiangroke, Banjaran, Kabupaten Bandung, Jumat (5/9/2025). EN ditemukan dalam kondisi tergantung di bawah kusen pintu, sementara kedua anaknya ditemukan sudah tidak bernyawa di atas tempat tidur.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat berbincang dengan detikJabar, Ketua Prodi Sosiologi Universitas Padjajaran (Unpad) Hery Wibowo turut berpandangan soal tragedi yang menimpa ibu dan keduanya anak di Banjaran. Menurutnya, ada empat faktor penting yang kemudian berpotensi menjadi pemicu masalah ini bisa terjadi mulai dari tekanan ekonomi dan sosial, hingga masalah kesehatan mental.

Dalam sudut pandang sosiologi, Hery membeberkan bahwa kasus ini di lingkungan masyarakat tidak hanya berdiri sendiri atau bukan sekadar masalah personal. Dugaan terkuat pertama, korban mengalami takanan ekonomi dan sosial yang mempengaruhi kehidupannya.

ADVERTISEMENT

"Dan ini sinyal yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Tekanan ekonomi ini bukan masalah sederhana, bukan masalah ringan, karena bisa memicu banyak potensi masalah selanjutnya. Tekanan ekonomi kalau sudah semakin berat, ini bisa memicu ragam masalah sosial selanjutnya. Bunuh diri, misalnya melarikan diri dari rumah, kriminalisme sampai premanisme," katanya, Rabu (10/9/2025).

Masalah yang kedua, yakni soal integrasi sosial. Di lingkungan masyarakat, kata Hery, keluarga menjadi lapisan pertama dari jaringan sosial yang bisa setidaknya mendeteksi hingga mencegah tindakan ekstrem dari seseorang ketika ia memang mengalami masalah dan tekanan dalam kehidupannya.

"Ketika sebut saja depresinya sudah begitu besar sehingga bunuh diri, empat sosial atau integrasi sosial ini dipertanyakan. Ketika mungkin beberapa hari sebelumnya yang bersangkutan pinjam uang, utang di warung, ini adalah sinyal seharusnya, bahwa ada warga yang perlu bantuan khusus. Jadi minimal, keluarga sampai lingkungan RT-nya, ini harus peduli dengan kondisi itu," ungkapnya.

Faktor yang ketiga, Hery menyoroti masalah ketidakstabilan norma dan nilai yang berubah-ubah akibat modernisasi. Menurutnya, setiap individu kini disodorkan tayangan di televisi hingga media sosial yang akhirnya mempengaruhi perilakunya.

"Sehingga norma dan nilai yang dipegang menjadi tidak stabil, tidak seperti masyarakat adat yang sangat stabil memegang normanya. Pengaruh modernisasi melalui media sosial ini mempengaruhi cara pandang dan cara perilakunya," tuturnya.

Faktor terakhir terkait masalah kesehatan mental. Hery pun mengingatkan, gangguan kesehatan mental tidak kalah penting untuk diperhatikan dibanding masalah kesehatan fisik. Sebab yang biasanya terjadi, jika seseorang mengalami gangguan itu, justru ada stigma negatif dari masyarakat, bahkan menganggap dia adalah seseorang yang lemah.

"Kalau orang sakit badan, dia sudah tahu aksesnya untuk mencari bantuan. Tapi kalau gangguan mental, masih ada stigma. Dia masih menyembunyikan, depresi, malu, atau dianggap lemah, dianggap aneh, oleh lingkungannya," katanya.

"Ketika seseorang menghadapi tekanan begitu kuatnya, masyarakat perlu langsung tahu dia perlu menghubungi siapa. Karena kebanyakan, dia menganggap tidak ada apa-apa dan memilih untuk menyembunyikan tekanan yang dia rasakan. Padahal, Indonesia itu punya call center Sapa129 milik kementerian, tapi memang belum tersosialisasikan atau tradisinya belum terbiasa kalau ada apa-apa dengan mentalnya menghubungi call center," tambahnya.

Lebih jauh, Hery pun mendorong supaya negara harus hadir dalam kondisi ini. Pemerintah punya sumber daya hingga tingkatan RT/RW yang bisa mendeteksi secara dini masalah tersebut, atau paling tidak memberikan edukasi kepada masyarakat supaya bisa lebih peduli lagi dengan kondisi yang dialami tetangganya.

"Kejadian ini harus jadi sinyal kuat, tidak perlu menunggu jatuhnya korban demi korban lagi. Semua harus ambil perhatian, masyarakat kita seperti yang empat hal tadi, negara harus hadir. Atau minimal jaringan sosial terdekat harus peduli," pungkasnya.

(ral/sud)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads