Mengenang Masa Main Layang-layang Tanpa Beban di Bandung

Lorong Waktu

Mengenang Masa Main Layang-layang Tanpa Beban di Bandung

Wisma Putra - detikJabar
Minggu, 24 Agu 2025 13:30 WIB
Di tengah gempuran gadget dan permainan digital, ternyata permainan tradisional masih digemari anak-anak di Jakarta Timur. Begini keseruannya.
Ilustrasi bermain layang-layang (Foto: Rengga Sancaya)
Bandung -

Jarum jam menunjukan pukul 12.00 WIB, bel pun berbunyi, suara bel yang berasal dari lonceng kuningan itu menandakan kegiatan belajar mengajar (KBM) selesai dan siswa yang bersekolah di salah satu sekolah dasar negeri yang berada di Jalan Majalaya-Cicalengka bisa pulang.

Deden salah satu siswa yang kala itu masih duduk di kelas 5 SD langsung membereskan buku dan memasukkannya ke tas sekolah. Warga Kecamatan Paseh itu, langsung pulang bersama teman-temannya yang memiliki arah yang sama atau teman satu kampung.

Sesampainya di rumah, Deden mengganti pakaian dari seragam sekolah ke pakaian kaus pendek dan celana pendek. Setelah itu dia bergegas ke rumah temannya untuk mengajak membeli layangan yang berada di Jalan Hegarmanah, Desa Sukamanah, Kecamatan Paseh.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Deden harus mengajak temannya karena dia mau nebeng sepeda milik temannya bernama Gunawan. Sesampainya di rumah Gunawan yang jaraknya kurang dari 100 meter, mereka berdua pun langsung berangkat ke toko layangan yang dituju.

Saat menuju toko layangan, Deden dibonceng dengan berdiri di besi belakang roda sepeda yang sudah dipasang step pipa sepanjang 15 centimeter. Keduanya berjalan tanpa hambatan, sesekali saat ada tanjakan keduanya berhenti dan memilih mendorong sepeda.

ADVERTISEMENT

20 menit perjalanan dilalui mereka dengan menaiki sepeda, toko layangan yang mereka tuju yakni Toko Layangan Ngebor atau Toko Mang Engkos. Toko layangan tersebut tergolong toko layangan legendaris yang hingga saat ini masih eksis.

"Ya layangan Engkos, sebenarnya ada layangan Omo tapi jauh, belinya harus ke Majalaya, jadi yang dekat saja," kata Dede kepada detikJabar, Kamis (21/8/2025).

Menurut Deden dia pilih membeli layangan ke tokonya langsung karena harganya lebih murah, dibandingkan membeli layangan di warung yang ada dekat rumahnya.

"Selisihnya bisa Rp500 pada saat itu, lumayan lah, kalau gak salah itu tahun 2005-an, 20 tahun lalu," ujar Deden.

Di tengah gempuran gadget dan permainan digital, ternyata permainan tradisional masih digemari anak-anak di Jakarta Timur. Begini keseruannya.Ilustrasi permainan layang-layang Foto: Rengga Sancaya

Deden sebut harga layangan di toko, dijualnya per kodi di mana jika dihitung satuannya hanya Rp500, namun jika di warung bisa mencapai Rp1.000 per satuannya.

"Kalau beli ke Mang Engkos, masih baru, kalau beli di warung bekas tangan orang yang pilih layangan. Terus kenapa beli ke toko, benang gelasannya juga baru, kalau di warung kadang gelasnya bekas dipegang orang, terus stoknya lama," ungkap Deden.

Menurut Deden, pada kala itu dia biasa membeli sekodi layangan dan 3-4 pcs gelasan seharga Rp1.000. Layangan dan gelasan yang dia beli bisa digunakan untuk main selama satu minggu.

"Seperti sekarang nih, mainnya pas kemarau, mainnya di lapang atau di swah yang sudah di panen, layangannya buat diaduin, biasanya sehari bisa habis 3-5 layangan," ujar Deden.

"Enggak boros segitu mah, kan mainnya juga sore bukan siang," tambah Deden.

Pria berumur 29 tahun ini mengaku saat melihat anak-anak bermain layang-layang mengingatkan dia pada masa kecilnya.

"Ya inget dong, masa-masanya bebas beban, tiap hari mikirnya main, dimarahi orang tua kalau lupa makan, enak juga jajan tinggal minta ke orang tua, ah indah banget pokoknya," ujar Deden.

Deden juga mengaku, dia kerap dimarahi sama nenek nya, jika saat bermain layangan dia tidak menggunakan topi dan baju lengan panjang.

"Katanya takut kulit jadi hitam, ya namanya anak laki-laki semua pernah ngalamin kaya gitu, bahkan saking seringnya main layangan rambut jadi sedikit pirang karena kepanasan, terus balas bogo atau kulit kering dibagian pipi," ujar Deden sambil melemparkan sedikit tawa.

Deden juga mengaku, dia kerap moro atau berburu layangan yang kalah. Hal itu dia lakukan jika stok layangannya habis.

"Kalau layangan habis, gak punya uang, asalkan masih ada gelasan saya suka moro, nanti kalau layangannya dapat diadukan lagi," terang Deden.

(wip/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads