Sekretaris Jenderal Perkumpulan Inisiatif Dadan Ramdan menyoroti rendahnya perhatian Pemerintah Provinsi Jawa Barat terhadap pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT). Menurutnya, tren alokasi anggaran sektor ini justru cenderung menurun dalam lima tahun terakhir, padahal dunia tengah menghadapi krisis energi dan perubahan iklim.
"Kita hari ini berhadapan dengan krisis lingkungan dan krisis energi terkait makin menipisnya sumber energi fosil seperti minyak, gas, dan batubara. Sehingga dunia kemudian berkomitmen menjalankan transisi energi untuk menjawab krisis energi dan perubahan iklim. Dan ini harus dijalankan oleh pemerintah Indonesia, termasuk pemerintah daerah," ujar Dadan, Kamis (14/8/2025).
Data Perkumpulan Inisiatif menunjukkan, proporsi belanja EBT Dinas ESDM Jabar meningkat dari 0,51% pada 2020 menjadi 10,84% pada 2024. Namun, pada 2025 turun menjadi 7,67%. Dibandingkan pendapatan sektor energi yang mencapai Rp1,3 triliun per tahun, belanja EBT tidak pernah menyentuh 1%. Bahkan rata-rata anggaran APBD Jabar untuk EBT hanya sekitar Rp5,6 miliar per tahun atau setara 0,02% dari total belanja daerah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ironis, sektor energi menyumbang Rp1,3 triliun tapi belanja energinya hanya Rp2,3 miliar. Ketika kita melihat ini menunjukkan kurangnya perhatian. Kebanyakan dari Rp2,3 miliar itu untuk supervisi, pengawasan, pengadaan solar panel, dan biogas. Di RPJMD saja, untuk PLTS atap hanya dialokasikan Rp7 miliar," ungkapnya.
Dadan menilai, Pemprov Jabar belum menjadikan EBT sebagai prioritas pembangunan, bahkan dalam Rancangan Akhir RPJMD 2025-2029 tidak tercantum program prioritas untuk pengembangan EBT skala kecil-menengah. Padahal, menurutnya, Jawa Barat memiliki potensi energi bersih yang besar dan dukungan anggaran yang memadai jika ada kemauan politik.
"Seharusnya ini jadi konsen pemerintah yang dituangkan dalam RPJMD dan menjadi prioritas. Kalau pemerintah konsisten menjalankan RPJPD, harusnya lebih progres, mulai perbaikan tata kelola, bahkan ada subsidi untuk pelaku EBT, perbaikan perizinan. Semua itu harus diterjemahkan ke RPJMD dan didukung APBD. Kita berharap, misalnya 3 persen saja dari total APBD untuk belanja energi bersih, itu sudah menunjukkan komitmen yang kuat," tegasnya.
Terkait turunnya komitmen ini, Dadan menduga faktor kepemimpinan kepala daerah sangat berpengaruh. Dia menyebut Gubernur Jabar saat ini tidak begitu peduli dengan isu energi baru terbarukan sehingga perhatian dari pemerintah ikut menurun.
"Sebelum disahkan di APBD, itu dibuat oleh TPAD yang diketuai Sekda, tapi secara politik harus melalui gubernur. Kemungkinan gubernur belum aware atau peduli, meski kita apresiasi soal lingkungan yang mestinya bisa nyambung, karena energi bersih berkolerasi dengan lingkungan," pungkasnya.
(bba/mso)