Gang sepanjang ratusan meter di RT 02 RW 07 Kampung Tipar, Kelurahan Palabuhanratu, Sukabumi, tampak berbeda menjelang 17 Agustus. Bendera merah putih berkibar di tiap sudut, tapi bukan itu saja yang mencuri perhatian.
Dari kejauhan, puluhan angsa putih seakan beterbangan di langit kampung, sayapnya terbentang di antara kabel-kabel listrik. Jika didekati, "angsa-angsa" itu ternyata potongan galon bekas yang dibentuk menyerupai burung. Di sudut lain, jerami tergantung rapi di gapura bambu. Kukusan yang di sumbangkan ibu-ibu kampung digantung sebagai ornamen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pot tanaman dari bekas galon air mineral berbagai ukuran warna-warni berderet, sebagian dibuat dari ban bekas yang dicat ulang. Sebuah miniatur leuit berdiri di salah satu sudut, lengkap dengan atap ijuk dan dinding anyaman bambu. Semua itu menjadi simbol kampung tema tahun ini, 'Balik Ka Lembur'.
"Ini kan sudah sekitar 4 tahun jalan tahun ini, masyarakat di sini mau hiburan bikin sendiri, pribadi pribadi ini sebetulnya bukan warga semua, berapa orang lalu bergerak dengan satu tujuan kita hias kampung," ujar Eman Sulaeman, konseptor hiasan yang juga warga setempat saat ditemui detikJabar, Kamis (14/8/2025).
![]() |
Ia bercerita bagaimana keterbatasan dana membuat warga berkreasi dengan berbagai benda termasuk barang bekas.
"Barang bekas, galon, jerami, tadinya saya konsepnya saya mau gimana gitu, cuman dana terbatas, ya jadi memanfaatkan jerami barang barang bekas, yang diutamakan kreativitas warga saja," katanya.
Tak ada iuran khusus, warga hanya membawa rokok, kopi, atau apa saja yang bisa membantu. "Kalau patungan saya kira gak sih, orang orang yang bawa rokok, bawa kopi, cuman kontrakan ada beberapa ada 25 orang. Ini sebetulnya menghidupkan lagi gotong royong jadi warga bahu membahu, bikin itu ini nya hampir sebulan," tambahnya.
Di balik gagasan Eman, ada dukungan penuh Ketua RT 02, Dodi Kusnadi. Baginya, tradisi ini sudah melekat, entah ada lomba atau tidak.
"Kalau konsepnya itu, balik ke lembur, ini sekarang ini sudah tiga kali, tahun ke tiga istilahnya di lombakan, dinilai tapi tiap tahun walaupun gak ada penilaian, kita udah kebiasaan menghias di lorong jalan ini," ujarnya.
Dodi mengingat prosesnya, awalnya ia bersama Eman dan seorang warga lain, Gimpung, mulai mencoret-coret ide.
"Adapun yang pertama Haji Eman sama saya aja, sama pak Gimpung, kita ngumpet-ngumpet cet-cet, udah gitu gimana, ada bapak Jep, pak Ucen, istilahnya gimana a, saya membuat ini ornamen ornamen pot pot bunga, ok ga jadi masalah," katanya.
Proses itu melibatkan banyak nama. Ada Ujang Bima, Henda, Angga, Tutang. Warga lain ikut menyumbang tenaga, sementara ibu-ibu membantu menyiapkan perlengkapan dan barang bekas.
"Ini kurang lebih kalau dihitung-hitung ini sama ininya, kayanya 4 sampai 5 jutaan habis, karena bambunya saja udah 500 ribu, satu paket bambu, belum yang lainnya," kata Dodi.
Gotong Royong yang Menyala
Dodi mengaku lebih senang memberi contoh daripada menyuruh. "Iya betul, gotong royong seperti kebersihan lebih utama, saya itu gak suka nyuruh orang, kalau ada kebersihan saya sendiri yang turun, yang ikut warga, saya gak usah ngomong ngajak ayo gini itu, ya kita saya bercontoh saja dulu," tuturnya.
Ia menyebut, karya lain juga lahir dari kemampuan warga. Miniatur leuit yang jadi ikon dibuat oleh Luki, seorang perias pengantin.
![]() |
"Ini foto leuit, dibuat sama Pak Luki, dia backgroundnya orang seni, orang suka di rias pengantin, jadi betul betul menginspirasi," ujarnya.
Kini, lorong kecil di Tipar itu menjelma ruang pamer warga. Dari galon bekas yang menjelma angsa, jerami yang dibawa dari sawah tetangga, hingga pot tanaman dari ban bekas. Semua berdiri bukan karena uang, tapi karena gotong royong.
Baca juga: Cara Berbeda Sambut Kemerdekaan di Sumedang |
Bagi warga Tipar, hiasan sederhana ini bukan sekadar dekorasi 17 Agustus. Ia adalah perayaan kebersamaan, kreativitas dari keterbatasan, sekaligus cara mereka "balik ka lembur" mengingatkan diri pada kampung halaman di tengah hiruk pikuk perkotaan.
(sya/dir)