Kisah Disabilitas Penjahit Bola, Kerap Bergulat dengan Perut Kosong

Kisah Disabilitas Penjahit Bola, Kerap Bergulat dengan Perut Kosong

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Kamis, 14 Agu 2025 13:30 WIB
Sandi, disabilitas di Sukabumi.
Sandi sedang menjahit bola disaksikan ibunya. (Foto: Syahdan Alamsyah/detikJabar)
Sukabumi -

Sebuah video belakangan ini viral di media sosial. Video itu menceritakan sosok pria bernama Sandi, seorang penjahit bola.

Jarinyanya lincah menusukkan jarum ke kulit bola sintetis. Di sampingnya sang ibu berbaring lemah. Sandi kemudian menunduk, mengecup kening ibunya, lalu berkata lirih bahwa ia tak makan selama empat hari karena tak mampu membeli beras.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sejak kapan ya enggak ada beras. Minggu, Senin, Selasa, Rabu sekarang hari Kamis sekarang," ucapnya dalam video yang diunggah oleh salah satu lembaga filantropi 21 Maret silam, seperti dilihat detikJabar, Rabu (13/8/2025).

Saat detikJabar menyambangi rumahnya di Kampung Bojong Kawung, Desa Girijaya, Kecamatan Nagrak, Kabupaten Sukabumi, kondisi ibunda Sandi, Atikah (60), sudah membaik.

ADVERTISEMENT

Empat hari itu bukan sekadar menghitung waktu. Hujan deras membuatnya tak bisa mengantarkan bola, sementara bos yang biasa memesan sedang berduka. Tidak ada kerja berarti tidak ada uang. Tidak ada uang berarti tidak ada beras. "Kalau nggak kerja, ya nggak makan," ujar pria berusia 40 tahunan itu kepada detikJabar.

Cerita hari-hari penuh kesulitan itu masih teringat jelas di kepalanya. Ia mengingat betul, saat ia dan ibunya hanya minum air putih untuk bertahan hidup. Tenggorokan kering, perut kosong, dan kepala berkunang-kunang.

"Saya nggak makan nggak apa-apa, tapi emak nggak makan saya nangis. Emak kan punya sakit lambung, sakit jantung. Jangan sampai emak lapar," katanya.

Sandi lahir di Bogor, ayahnya berasal dari Ciamis. Ia sempat berpindah-pindah mengikuti orang tua dan kakek-neneknya.

"Karena kakek sama nenek meninggal, rumah dijual sama mamang nggak bilang-bilang. Akhirnya pindah, ngobrol sama masyarakat, alhamdulillah dibangunkan rumah gotong royong," tuturnya.

Sandi, disabilitas di Sukabumi.Sandi (kiri), disabilitas penjahit bola di Sukabumi. (Foto: Syahdan Alamsyah/detikJabar)

Sejak ayahnya meninggal pada 2016, Sandi hidup hanya berdua dengan ibunya. Ia adalah anak sulung dari lima bersaudara. Adik-adiknya sudah berkeluarga dan tinggal jauh. Baginya, menikah bukanlah pilihan.

"Kenapa enggak nikah? Kan urus emak. Dari mana emak mau makan kalau saya tinggalin? Kasihan emak terlantar. Saudara yang dekat enggak punya, tetangga juga kami nggak mau merepotkan," ujarnya, suaranya bergetar.

Sejak 2003, Sandi menggantungkan hidup pada keterampilan menjahit bola yang ia pelajari dari almarhum Ganda dan Asep, tetangganya. Satu bola ia jahit selama empat jam, kadang lebih jika kulit keras atau benang kusut.

Hasilnya ia jual ke pengepul seharga Rp 7.000 per bola, atau langsung ke pembeli dengan harga Rp 70.000 hingga Rp 100.000. Keuntungan bersihnya berkisar Rp 10.000-30.000, tergantung pembeli.

Penghasilannya sering kali habis untuk membeli beras seharga Rp 12.000 per liter. Sisanya ia belikan kecap atau kerupuk. "Kadang sehari bisa jahit dua bola, kadang nggak ada sama sekali. Kalau nggak ada orderan ya diam di rumah, tidur," katanya.

Di tengah serba terbatas, ada momen sederhana yang membekas, ketika sang ibu menginginkan nasi padang. Cerita sederhana namun begitu membekas dalam benak Sandi.

"Kemarin beli nasi padang, emak dulu yang makan. Emak sampai nangis pengen nasi padang katanya. Alhamdulillah kebeli kemarin itu, emak makan duluan. Sisanya saya habiskan," ucapnya lirih.

Demi mencari pembeli, Sandi pernah berjalan kaki 5 hingga 10 kilometer menuju Stasiun Karangtengah. Dua bola ia bawa dalam kantong plastik, ditenteng sepanjang jalan.

Pulang pergi tanpa kendaraan, kadang ia bertemu orang baik yang memboncengkannya atau sopir angkot yang mempersilakan naik tanpa ongkos. Tapi tak jarang ia kembali dengan tangan hampa.

Atikah mengakui keteguhan hati sang anak. "Sandi itu anak kedua, semuanya lima bersaudara. Walau keterbatasan fisik, dia tetap berusaha. Dia yang menyambung hidup saya. Saya selalu berdoa anak saya diberikan kesehatan, dan perlindungan, karena dia yang selama ini menafkahi saya," ujarnya.

Kini, meski ibunya sudah pulih, Sandi masih menyimpan kekhawatiran. Harapannya sederhana: modal untuk berjualan bola atau usaha lain agar penghasilannya tidak terhenti.

"Harapan mah banyak, keinginan banyak termasuk soal usaha saya yang jangan sampai terhenti. Namun untuk sekarang, yang penting emak sehat. Itu saja sudah cukup," katanya.

Bagi Sandi, dunia boleh sempit, langkah boleh terbatas, tapi cintanya pada sang ibu adalah ruang tak bertepi. Ia memilih lapar demi melihat ibunya kenyang sehuah pengorbanan yang tak semua orang sanggup lakukan.

"Hidup saya untuk emak, meskipun kata orang sulit melihat kondisi saya seperti ini saya yakin saya bisa dan saya mampu meskipun dengan keterbatasan," pungkasnya.

(sya/orb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads