Kementerian Kesehatan merilis daftar provinsi dengan kasus chikungunya tertinggi di RI. Menurut data, hingga pekan ke-30 tahun 2025, jumlah kasus suspek chikungunya di Jabar mencapai 6.674 kasus.
Jumlah itu lebih tinggi dibanding sejumlah provinsi lain seperti Jawa Tengah dengan 3.388 kasus, Jawa Timur 2.903 kasus, Sumatera Utara 1.074 kasus, Banten 838 kasus dan Jakarta yang hanya mencatat 144 kasus.
Ketua Tim Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Dinas Kesehatan (Dinkes) Jabar Yudi Koharudin tak menampik status Jabar menjadi provinsi tertinggi kasus suspek chikungunya. Namun dia menyebut, dari jumlah yang dirilis Kemenkes, hanya 2.510 kasus yang probable.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu sebetulnya baru suspek yang dilaporkan oleh kabupaten kota melalui SKDR. Jadi Jabar sebanyak 6.915 (hingga minggu 32) kasus suspek. Yang sudah probable di tahun 2025 itu 2.510 kasus," ucap Yudi saat dikonfirmasi, Rabu (13/8/2025).
Yudi menjelaskan, tren kasus probable chikungunya di Jabar mengalami penurunan sepanjang tahun ini. Berdasarkan catatan, bulan Januari dan Februari jadi puncak chikungunya dengan 1.015 kasus.
"Kalau kita lihat trennya Januari terdapat sebanyak 514 kasus, yang probable, Februari 501 kasus, Maret 342 kasus terus April 307 kasus, Mei 367 kasus, Juni 324 kasus, Juli 154 kasus. Sedangkan yang bulan Agustus kita belum melakukan evaluasi, jadi yang probable itu 2.510," ungkapnya.
"Jadi Kementerian Kesehatan melakukan evaluasi yang berdasarkan suspek, yang berdasarkan probable. Yang berdasarkan suspek ya jelas kita nomor satu, kedua itu kalau tidak salah Jawa Tengah, Jawa Timur," sambungnya.
Meski begitu, Yudi menyebut, langkah antisipasi telah dilakukan untuk menekan penularan chikungunya yang disebabkan oleh gigitan nyamuk tersebut. Salah satunya dengan mengeluarkan Surat Edaran (SE) kewaspadaan terhadap kasus dengue dan chikungunya.
"Meningkatkan kapasitas layanan kesehatan termasuk ketersediaan alat diagnostik, cairan infus, logistik untuk fogging dan obat-obatan. Analisis wilayah resiko berbasis data epidemiologis dan lingkungan juga akan dilakukan," ujar Yudi.
(bba/mso)