Makan Gratis Picu Maut di Garut, Sosiolog: Bukan Lapar, tapi Viral

Makan Gratis Picu Maut di Garut, Sosiolog: Bukan Lapar, tapi Viral

Bima Bagaskara - detikJabar
Sabtu, 19 Jul 2025 16:30 WIB
Conceptual shot of feet with a hospital information ring and tag representing death
Ilustrasi (Foto: Getty Images/nico_blue)
Garut -

Insiden tewasnya tiga warga dalam acara makan gratis di Garut yang digelar sebagai bagian dari hajatan pernikahan anak Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, Maulana Akbar dan Wakil Bupati Garut Putri Karlina memunculkan banyak pertanyaan publik.

Mengapa acara yang dimaksudkan sebagai bentuk syukur justru berujung duka karena menewaskan tiga warga akibat berdesakan saat berebut makanan gratis dan menyebabkan puluhan warga lainnya mengalami luka-luka.

Sosiolog Universitas Padjadjaran, Ari Ginanjar menilai penyebabnya bukan sekadar karena faktor kemiskinan atau kelaparan warga, melainkan karena kuatnya magnet personal figur publik dan kultur viral yang melingkupinya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Menurut saya, ini tidak terlepas dari personal Pak KDM ya. Beliau itu bisa dibilang gubernur paling populer di media sosial," kata Ari saat dihubungi, Sabtu (19/7/2025).

Ari menilai, posisi Dedi yang sangat dekat dengan publik melalui media sosial membuat setiap aktivitasnya menjadi peristiwa yang dinanti dan dicari warga. Termasuk ketika acara pernikahan putranya diwarnai dengan kegiatan makan gratis bagi masyarakat.

ADVERTISEMENT

"Karena beliau sendiri merasa istimewa, yang saya lihat dari personalnya, merasa sebagai orang yang istimewa. Itu merupakan karakter dari konten kreator atau yang disebut sebagai gubernur konten. Dia cenderung ingin terlihat istimewa, termasuk juga dalam menikahkan putranya," ujar Ari.

Menurut Ari, langkah menggelar makan gratis sebagai bagian dari pesta pernikahan justru memperlihatkan sisi lain dari bentuk populisme KDM. Ia menilai, ini adalah bagian dari strategi untuk tetap menjaga kedekatan dengan massa.

Namun di sisi lain, acara tersebut menjadi tak terkendali karena tidak memperhitungkan karakteristik kerumunan massa yang sudah dikenal rawan chaos jika berkaitan dengan pembagian barang atau makanan secara gratis.

"Karakter masyarakat kita kalau sudah ada makan gratis itu sifatnya menjadi keos. Seperti yang terjadi di Palembang, ada konten kreator yang membagikan makanan gratis itu dua menit langsung habis. Bukan hanya karena mereka lapar, tapi karena ajang itu menjadi bagian dari vitalitas figur publik itu sendiri," jelasnya.

Ari menekankan, insiden Garut bukan sekadar soal kemiskinan. Ia melihat bahwa banyak warga hadir bukan karena perut kosong, tetapi ingin menjadi bagian dari momen yang bisa diviralkan.

"Kalau kita lihat di Garut, itu tidak tampak bahwa mereka yang berebut itu yang kelaparan. Dari penampilannya bukan karena mereka miskin, tapi karena viralitasnya itu. Mereka ingin jadi bagian dari viralitas KDM. Mereka viralkan di media sosial masing-masing, itu jadi kepuasan sendiri mungkin bagi mereka," tambahnya.

Bahkan, menurut Ari, dorongan untuk ikut viral kadang sampai membahayakan diri sendiri. "Seringkali orang ingin viral, mereka celaka sendiri. Ada yang terjun dari jurang, terbawa arus sungai, dan seterusnya. Sudah sering dan banyak kejadian karena ingin viral akhirnya mencelakakan diri sendiri,' terangnya.

Agar kejadian serupa tak terulang, Ari mengingatkan agar para figur publik, terutama mereka yang juga aktif sebagai konten kreator, memahami benar dinamika massa setiap kali ingin menggelar kegiatan apapun khususnya soal membagi-bagikan sesuatu.

"Siapapun publik figur yang ingin mengadakan acara melibatkan massa banyak, terutama yang bersifat membagi-bagikan sesuatu dengan gratis, mohon diperhatikan karakteristik massa. Jangan sampai merugikan atau bahkan membahayakan masyarakat," tandasnya.




(bba/dir)


Hide Ads