Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) resmi mengumumkan daftar nama bakal calon rektor untuk periode 2025-2030. Sebanyak sembilan nama muncul dalam daftar awal yang dirilis pihak kampus.
Berdasarkan hasil sidang pleno MWA UPI yang digelar Kamis (10/4/2025), ditetapkan 9 nama bakal calon rektor, mereka yakni Prof. Agus Rusdiana, Prof. Amir Machmud, Prof. Deni Darmawan, Prof. Didi Sukyadi, Prof. Endang Aminudin Aziz, Prof. Memen Kustiawan, Prof. Prayoga Bestari, Prof. Vanessa Gaffar dan Prof. Yudi Sukmayadi.
Setelah mengumumkan nama-nama bakal calon rektor, selanjutnya UPI akan menjalankan proses seleksi ketat untuk menyaring 9 kandidat tersebut menjadi 3 nama utama yang akan masuk ke tahap akhir pemilihan rektor.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Setelah itu ada penilaian oleh asesor independen dari luar, baru nanti menentukan tiga besar, baru pemilihan rektor," ujar Ketua MWA UPI Komjen. Pol (Purn) Nanan Soekarna.
Adapun tahap penyaringan akan diawali dengan proses assessment 15-16 April, paparan kertas kerja 28-30 April, sidang pleno MWA penetapan dan pengumuman calon rektor 5 Mei. Kemudian tahap pemilihan rektor dilakukan pada 15-16 Mei.
Pada kesempatan itu, Nanan juga menyinggung soal transparansi dalam proses pemilihan rektor UPI. Dia memastikan, tidak ada konspirasi dalam tahap seleksi dan panitia pemilihan mengendapkan nilai-nilai universitas.
"Kita full komitmen, no konspirasi. Artinya tidak ada konspirasi, kolusi dan sebagainya. Kita akan pilih yang memang lebih baik dari standar yang ada," tegasnya.
Di tempat yang sama, Ketua IKA UPI Enggartiasto Lukita menambahkan, alumni UPI bakal ikut mengawal proses pemilihan rektor demi memastikan transparansi dalam seluruh tahap seleksi.
"Dari berbagai rumor bahwa ada dugaan konspirasi, bloking dan sebagainya, silakan kalau berani. Sebab, saya mengenal betul, boleh dicek track recordnya, saya tahu persis," ungkapnya.
"Saya mewakili IKA UPI, lega bangga dan penuh harap, kami tidak berani menitipkan satu nama, tapi kami menitipkan kriterianya yang meningkatkan standar kita. Ini waktunya bagi UPI untuk menjadi yang terbaik," tandasnya.
Pemilihan Rektor Dikritisi
Civitas Akademika Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengkritisi proses pemilihan rektor periode 2025-2030. Mereka menganggap proses pemilihan melanggar prinsip bahkan sejak pemilihan Senat Akademik (SA).
Para civitas akademik yang sebagian adalah guru besar UPI bahkan membuat surat terbuka untuk Sekretaris Kabinet, Menteri dan Dirjen di Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi.
Guru Besar FPEB UPI Prof. Nugraha mengatakan, pihaknya menduga ada indikasi mobilisasi Senat Akademik untuk memilih anggota Majelis Wali Amanat (MWA) di internal kampus.
"Dalam pemilihan calon anggota MWA dari unsur SA, pemungutan suara dilakukan melalui metode satu orang anggota SA, memilih sembilan orang calon anggota MWA dalam satu paket. Hal tersebut telah menciptakan blok monopoli anggota MWA internal UPI yang terpilih berdasarkan patronase," kata Nugraha.
Nugraha menjelaskan, sebelumnya sempat muncul usulan agar pemilihan calon anggota MWA dari unsur SA dilakukan melalui metode satu orang memilih satu calon. Namun dengan satu orang memilih sembilan calon, menimbulkan blok monopoli anggota MWA internal UPI.
"Ini ditunjukkan dengan hasil janggal dalam anggota MWA dari unsur SA, di mana ada satu fakultas memiliki dua wakil anggota MWA, sedangkan dua fakultas lain tidak memiliki perwakilan anggota MWA," ujarnya.
"Langkah itu merupakan bagian dari pernyataan sikap atas proses pemilihan calon anggota MWA dari unsur SA sudah tidak demokratis, tidak sesuai dengan prinsip-prinsip nilai etika di perguruan tinggi yang membangun nilai-nilai objektivitas, transparansi, dan solidaritas akademik," lanjutnya.
Tak hanya itu, Nugraha menyebut muncul mobilisasi dukungan pada tahap penjaringan calon anggota MWA dari unsur masyarakat. Bakal calon kandidat rektor turut menjadi anggota tim penjaringan bakal calon anggota MWA.
"Di sini terjadi konflik kepentingan karena bakal calon kandidat turut menjaring calon anggota MWA yang kelak akan bertugas memilih rektor," terangnya.
Praktik-praktik politik praktis itu menurut dia menciptakan suasana kampus yang tidak kondusif dalam membangun soliditas civitas akademika karena akan membelah kelompok-kelompok politik.
"Suasana seperti ini akan menjadi pertentangan dengan misi pemerintah dalam hal ini Presiden RI yang menginginkan agar kampus menjaga jati dirinya sebagai lembaga akademik yang akan melahirkan sumber daya manusia unggul," tegas Nugraha.
"Caranya adalah dengan menciptakan harmoni kehidupan, bukan menjadi ajang politik praktis para elite kampus," tandasnya.
(bba/dir)