Sajudin, Juru Potret Karang Hawu yang Bertahan di Tengah Gempuran Zaman

Serba-serbi Warga

Sajudin, Juru Potret Karang Hawu yang Bertahan di Tengah Gempuran Zaman

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Minggu, 16 Feb 2025 18:00 WIB
Sajudin, fotografer di Karawang Hawu, Sukabumi
Sajudin, fotografer di Karawang Hawu, Sukabumi (Foto: Syahdan Alamsyah/detikJabar).
Sukabumi -

Di tepi Pantai Karang Hawu, angin laut berembus lembut membawa aroma asin yang khas. Ombak pecah di karang-karang, berpadu dengan riuh tawa wisatawan yang sibuk berfoto menggunakan ponsel mereka. Di sudut pantai, seorang pria paruh baya duduk di kursi lipatnya, sesekali mengamati orang-orang yang berlalu-lalang.

Sajudin (56), juru potret lawas, masih setia menunggu pelanggan yang ingin mengabadikan momen dengan cara lama foto langsung jadi yang bisa dicetak saat itu juga.

Di lehernya tergantung kamera DSLR, sedangkan di sampingnya terdapat mesin cetak foto portabel yang menjadi penyambung hidupnya. Dengan wajah ramah, ia menawarkan jasanya kepada wisatawan, meski ia tahu tak semua akan tertarik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya dapatnya komisi dari yang punya, ini kamera dan mesin cetak ada bos nya," ucap Sajudin membuka kisahnya kepada detikJabar.

Sudah puluhan tahun Sajudin setia dengan profesinya, meskipun hasil yang ia bawa pulang terkadang hanya cukup kebutuhan dapur.

ADVERTISEMENT

"Kalau jadi tukang foto sudah 27 tahun sekarang semuanya serba ringkas, langsung cetak kalau dulu pertama di sini pakai Polaroid, saya juga asli orang Cisolok tidak jauh dari Karang Hawu," ujarnya.

Dulu Laris Manis, Sekarang Sekadar Bertahan

Jauh sebelum ponsel berkamera dan kamera mirrorless menjamur, fotografer seperti Sajudin adalah bagian tak terpisahkan dari wisata pantai. Wisatawan, terutama keluarga, rela antre untuk mendapatkan cetakan foto instan berlatar belakang lautan luas dan tebing khas Karang Hawu.

"Dulu sehari bisa dapat Rp 600 ribu, kalau libur panjang bisa lebih. Sekarang? Dapat Rp 100 ribu saja sudah bersyukur," ujarnya.

Dulu, ia bisa memotret puluhan orang dalam sehari. Saat itu, foto instan masih menjadi barang berharga. Kini, semua berubah. Teknologi menggeser kebiasaan orang. Kamera ponsel semakin canggih, lengkap dengan fitur filter dan edit otomatis.

"Sekarang orang tinggal pakai HP, edit sedikit, langsung ke media sosial. Jasa foto seperti saya makin sepi," keluhnya.

Bahkan jika ada yang ingin menggunakan jasanya, sebagian besar lebih memilih soft copy foto ketimbang cetak. "Orang masih ada yang mau cetak, tapi kebanyakan minta dikirim ke HP saja," katanya.

Untuk tetap bertahan, Sajudin menawarkan dua pilihan kepada pelanggan, foto cetak langsung jadi seharga Rp 10 ribu per lembar, atau soft copy hasil foto yang dikirim ke ponsel pengunjung seharga Rp 5 ribu.

Dengan cara ini, ia masih bisa mengais rezeki meski jauh dari masa kejayaannya dulu.

Memotret Artis dan Kenangan yang Tertinggal

Sebagai fotografer yang sudah berpuluh tahun bekerja di Pantai Karang Hawu, Sajudin menyimpan banyak cerita. Ia pernah memotret banyak figur terkenal yang datang berlibur ke sini.

"Rhoma Irama, pedangdut-pedangdut terkenal, sampai pemain sinetron. Warkop DKI, Dono, Kasino, Indro juga pernah saya fotoin di sini. Dulu mereka sering main ke sini," kenangnya, matanya berbinar mengingat masa lalu.

Kala itu, Sajudin bekerja dengan sistem komisi. Ia mendapat modal kamera dan mesin cetak foto dari seorang bos yang juga warga setempat. Setiap kali berhasil menjual satu film tinta seharga Rp 260 ribu, ia mendapat bagian kecil.

Namun, kondisi saat ini jauh berbeda. Harga film Polaroid yang semakin mahal semakin menyulitkan pekerjaannya.

"Dulu Polaroid otentik, banyak yang suka. Tapi sekarang harga filmnya Rp 18 ribu per lembar. Kalau dijual Rp 25 ribu, wisatawan keberatan," katanya.

Sajudin sadar bahwa masa kejayaan fotografer cetak seperti dirinya sudah berlalu. Tapi, ia masih mencoba bertahan dengan peralatan yang dimilikinya.

Bertahan di Tengah Ketidakpastian

Dari enam anaknya, lima telah menikah dan memiliki kehidupan masing-masing. Tinggal si bungsu yang masih bersamanya di rumah. Ia tak pernah menyangka, pekerjaan yang dulu menghidupi keluarganya dengan nyaman kini hanya memberinya pendapatan pas-pasan.

Meski begitu, ia tetap bertahan. Setiap pagi, ia datang ke pantai dengan harapan akan ada wisatawan yang masih menghargai jasa fotografer lawas.

"Selama masih ada yang butuh, saya tetap akan memotret," ujarnya, tersenyum tipis di bawah sinar matahari yang mulai condong ke barat.

Di Pantai Karang Hawu, Sajudin masih setia duduk di kursinya. Tak lagi seramai dulu, tapi ia tetap percaya bahwa di antara banyaknya orang yang lebih memilih ponsel, akan ada satu atau dua yang masih ingin menikmati hasil foto cetak kenangan yang nyata, bukan sekadar file digital yang bisa terhapus kapan saja.

Salah satu pengunjung, Risa Febrianti (24), sempat mencoba jasa foto Sajudin bersama suaminya. Ia mengaku tertarik karena ingin memiliki kenangan fisik yang bisa disimpan di album keluarga. "Sekarang semuanya serba digital, tapi rasanya beda kalau ada foto yang bisa langsung dicetak. Kayak nostalgia zaman dulu, lebih berkesan," ujarnya sambil tersenyum puas melihat hasil jepretan Sajudin.

Risa mengakui bahwa foto hasil kamera profesional memiliki komposisi yang lebih baik dibandingkan foto dari ponsel. "Hasilnya lebih tajam, lebih estetik. Apalagi kalau dicetak, kesannya lebih nyata dibanding cuma simpan di galeri HP," katanya.




(sya/mso)


Hide Ads