Di tengah fenomena aging population atau populasi menua di Singapura, depresi pada kelompok usia lanjut menjadi isu yang kerap luput dari perhatian. Studi Kesejahteraan Lansia Singapura (WiSE) yang dilakukan oleh Institut Kesehatan Mental mengungkap bahwa setidaknya 5,5 persen lansia di negara tersebut mengalami depresi.
Mengutip dari detikHealth, banyak orang mengaitkan depresi dengan perasaan sedih, tetapi gejalanya tidak selalu tampak jelas, terutama pada lansia. Associate Professor Ng Chong Jin, Kepala dan Konsultan Senior Departemen Kedokteran Geriatri di Rumah Sakit Khoo Teck Puat, menerima rujukan dari layanan kesehatan primer terkait seorang wanita yang diduga mengalami demensia.
Keluarga pasien menggambarkan bahwa wanita tersebut menjadi lebih pelupa, pendiam, serta kurang terlibat dalam aktivitas sehari-hari. Sebelumnya, ia gemar berjalan-jalan pagi dan berbincang dengan tetangga di pasar. Namun, selama enam bulan terakhir, ia lebih banyak berdiam diri di rumah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Selama percakapan kami, ia berkata, 'Saya tidak ingin keluar. Saya sudah tua sekarang, tidak bisa berjalan dengan baik, dan semua teman saya sudah pergi. Tidak ada yang mengingat saya,'" ujar Ng Chong Jin.
Saat konsultasi berlanjut, pasien mulai menitikkan air mata dan mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap hidup serta perasaan kesepian. Ia merasa banyak lansia lain lebih beruntung darinya. Setelah dilakukan penilaian menyeluruh, ia didiagnosis mengalami depresi pada usia lanjut.
Kasus ini bukanlah kejadian yang terisolasi. Depresi pada lansia sering kali tidak terdiagnosis karena gejalanya, seperti kelelahan, kurang konsentrasi, dan gangguan tidur, kerap disalahartikan sebagai tanda penuaan normal atau penyakit fisik.
Selain itu, lansia yang mengonsumsi banyak obat sering kali mengalami efek samping yang menyerupai gejala depresi, sehingga menyulitkan proses diagnosis dan pengobatan.
Lonjakan Kesepian di Kalangan Lansia Singapura
Kesepian menjadi masalah utama bagi berbagai kelompok usia di Singapura, tetapi dampaknya paling terasa pada lansia. Studi yang dilakukan oleh Centre for Ageing Research and Education (CARE) di Duke-NUS Medical School pada 2015 menemukan bahwa kesepian meningkatkan risiko kematian pada lansia hingga 7 persen, bahkan setelah memperhitungkan kondisi kesehatan yang sudah ada.
Kondisi ini semakin mengkhawatirkan mengingat 39 persen warga Singapura berusia 62 tahun ke atas melaporkan mengalami kesepian dalam studi nasional oleh CARE. Studi lain juga menunjukkan bahwa kesepian memiliki dampak serupa dengan kebiasaan merokok, penyakit kardiovaskular, dan penurunan sistem imun dalam meningkatkan risiko kematian.
Para peneliti juga mengukur dampak kesepian terhadap harapan hidup lansia di Singapura. Mereka menemukan bahwa seseorang berusia 60 tahun yang merasa kesepian memiliki harapan hidup tiga hingga lima tahun lebih pendek dibandingkan mereka yang tidak kesepian.
Hal serupa berlaku bagi individu berusia 70 dan 80 tahun, di mana lansia yang merasa kesepian rata-rata hidup tiga hingga empat tahun lebih sedikit pada usia 70 tahun dan dua hingga tiga tahun lebih sedikit pada usia 80 tahun dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang tidak merasa kesepian.
Artikel ini telah tayang di detikHealth.
(naf/sud)