Batang-batang besi bekas penyangga jembatan gantung tergeletak tak beraturan di tepian Sungai Kampung Cikadaka, Desa Cidadap, Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi. Sebagian besi pijakan hilang terbawa derasnya arus saat banjir bandang melanda pada Rabu, 4 Desember 2024.
Sisa-sisa kejayaan jembatan itu kini hanya berupa beton kokoh yang tertanam di badan sungai, saksi bisu dari harapan yang pupus.
Jembatan yang baru saja diresmikan oleh Relawan Sehati Gerak Bersama pada 16 September 2024 kini tinggal kenangan. Selama dua bulan lebih, warga dan anak-anak sekolah sempat menikmati akses aman untuk menyeberangi sungai. Namun, banjir bandang mengembalikan mereka ke masa sulit.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sekarang anak-anak sekolah terpaksa menyeberangi sungai lagi, basah-basahan dan berenang lagi. Hanya berjalan dua bulan lebih warga dan anak-anak sekolah bisa menyeberang dengan nyaman, banjir bandang yang datang merusak jembatan," ujar Teh Bete, warga Kampung Naringgul, Desa Loji, kepada detikJabar, Selasa (7/1/2025).
Menurut Bete, pasca-bencana dan penetapan status darurat oleh Pemkab Sukabumi, aktivitas belajar-mengajar di sekolah sempat dihentikan. Namun, setelah masa libur sekolah berakhir, para pelajar kembali harus menyeberangi sungai mulai, Senin (6/1/2025).
"Jadi sekitar dua bulanan ya, bisa menikmati jembatan utuh. Lalu karena bencana, anak-anak libur, dan kemarin dengan hari ini kembali mereka berenang dan ada yang digendong untuk menyeberangi sungai. Seperti pagi tadi, sungai agak surut, anak-anak SD diantar menyeberang oleh orang tuanya," ucap Bete.
Kembali Berjuang Melintasi Sungai
Pantauan detikJabar menunjukkan pemandangan memilukan. Para pelajar terlihat menyingsingkan celana hingga setinggi perut sambil memegangi tangan orang tuanya, melawan arus sungai untuk mencapai seberang.
Di pagi hari, mereka berangkat menuju SDN Pasir Pogor di Kampung Cikadaka, Desa Cidadap. Sore harinya, giliran anak-anak dari Kampung Naringgul yang menyeberang untuk belajar di sekolah agama.
"Kalau air pasang atau hujan deras, semua aktivitas itu terpaksa diliburkan," tutur Bete.
Selain pelajar, banyak petani juga bergantung pada akses melintasi sungai untuk menjalankan aktivitas mereka. Hilangnya jembatan memaksa warga kembali menempuh jalan sulit, bahkan beberapa nekat berenang demi mencapai tujuan.
"Selepas jembatan hilang, semua kembali ke asal. Mereka berjalan lagi melintasi sungai, bahkan ada yang sampai nekat berenang," tambahnya.
Banjir Terbesar
Sebelumnya, Ruyatman, Kepala Seksi Pelayanan Desa Cidadap, menggambarkan kondisi banjir yang melanda Kampung Cikadaka sebagai peristiwa paling parah dalam beberapa dekade terakhir. Hujan deras selama tiga hari berturut-turut menyebabkan aliran sungai meluap dengan kekuatan yang luar biasa.
"Jembatan roboh sekitar pukul 10.00 atau 11.00 pagi. Fondasinya tergerus air karena banjir kali ini sangat besar. Selama 20-25 tahun saya tinggal di sini, belum pernah melihat air sungai meluap seperti saat itu," jelas Ruyatman.
Ia mengungkapkan, masyarakat tidak menyangka bencana ini akan menghancurkan jembatan yang sebelumnya dianggap aman dan kokoh. "Selama ini air tidak pernah naik setinggi itu, bahkan tidak pernah mencapai tiang jembatan. Tapi kemarin, banjir besar menghanyutkan jembatan yang selama ini diidamkan masyarakat. Sedih juga, karena jembatan ini sangat membantu," lanjutnya.
Pasca kejadian, kondisi warga kembali seperti dulu. "Pagi tadi, saya lihat anak-anak digendong lagi untuk menyeberang. Sebelumnya, ada yang pakai ban bekas. Sekarang kondisinya kembali seperti dulu, semuanya serba sulit," tutupnya.
(sya/mso)