Fenomena 21 jenazah utuh di Kampung Cimanggu, Desa Situhiang, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Cianjur bikin heboh. Ahli forensik ikut bersuara mengenai fenomena jenazah utuh tersebut.
Ahli Forensik Fakultas Kedokteran Unpad Prof. Dr. Yoni Syukriani mengatakan pada dasarnya pembusukan jenazah yang telah dikuburkan dapat dipengaruhi gabungan beragam faktor.
"Di negara tropis biasanya jenazah yang telah dikubur mengalami skeletonisasi atau menjadi tinggal tulang belulang kira-kira setelah dua tahun dikubur. Bisa lebih cepat karena beberapa faktor, misalnya kuburan dangkal, tanahnya mengandung banyak udara dan kotor. Lebih lambat jika kondisi tanahnya tepat," kata Yoni kepada detikJabar, Senin (16/12/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yoni juga mengungkapkan, beberapa faktor alamiah yang dinilai berperan menyebabkan jenazah tidak membusuk setelah dikubur.
"Es. Jenazah sangat lambat/tidak busuk jika terkubur dalam es. Demikian jenazah yang dikuburkan di ketinggian (misalnya iklim tundra), maka relatif lebih lambat daripada dataran rendah," ungkapnya.
Lalu kondisi tanah tertentu seperti rawa, yang tanahnya mengandung banyak materi tumbuhan, sehingga menjadi asam (pH rendah) dan tidak mengandung/rendah oksigen (anaerob). Biasanya ditandai dengan warna kulitnya menjadi coklat gelap.
"Kondisi tanah kering (pasir), karena menyebabkan kandungan cairan tubuh terserap, dan jenazah menjadi kering (mummifikasi) dan jenazah dikubur dalam tanah yang dalam dan jenis tanah padat. Semakin dalam dan padat, maka semakin rendah oksigen dan kandungan bakteri, maka semakin awet," jelasnya.
Yoni tak bisa berspekulasi soal fenomena tersebut merupakan azim terjadi. Sebab, kondisi tanah tak bisa membuat jenazah utuh.
"Tidak bisa dikatakan lazim. Karena kondisi tanah harus dalam komposisi tepat. Artinya tidak semua rawa/bog bisa menyebabkan jenazah yang terkubur awet. Misalnya, gabungan komposisi tanah, keasaman, jenis bakteri, bahkan lumut yang terkandung di dalamnya bisa sangat mempengaruhi," tuturnya.
"Atau tidak semua jenazah di tanah ketinggian terawetkan karena faktor lingkungan lain menyebabkan dia cepat busuk," tambahnya.
Menurutnya, tidak cukup data statistik untuk memastikan formula kondisi lingkungan seperti apa yang bisa mengawetkan jenazah dalam kubur secara alami. Namun faktor-faktor yang dia sebutkan dinilai mempengaruhi.
"Soal kejadian di Cianjur kita juga tidak tahu persis apakah kandungan tanah dan iklim setempat sesuai dengan teori-teori yang dibangun dari kejadian-kejadian sebelumnya," pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, puluhan makam di Kampung Cimanggu, Desa Situhiang, Kecamatan Pagelaran, Cianjur dibongkar dan dipindahkan usai terdampak longsor.
Dalam proses pemindahan makam yang terdampak longsor dan pergerakan tanah, ada fenomena yang sempat menggegerkan warga.
Sebanyak 21 jenazah yang dipindahkan masih utuh meski bertahun-tahun dimakamkan. Bahkan salah satu jenazah sudah dimakankan 18 tahun lalu.
Kepala Desa Situhiang Arifin Hidayat, mengenakan jenazah-jenazah tersebut masih dalam keadaan utuh selayaknya baru dimakamkan. Kain kafannya pun tak rusak, tetapi sebatas berubah warna.
"Sempat geger juga, sewaktu dibongkar jenazahnya utuh, tidak berbau, dan kain kafannya tidak rusak hanya jadi berubah warga menjadi coklat tanah," kata dia.
"Padahal jenazah tersebut ada yang sudah dimakamkan 1 tahun lalu, 6 tahun lalu, dan paling lama 18 tahun lalu," tambahnya.
(dir/dir)