Kampung Gempol di Desa Cikadu, Kecamatan Palabuhanratu, kini sunyi. Nyaris seluruh warganya mengungsi, meninggalkan rumah-rumah yang rusak akibat pergerakan tanah.
Namun, di tengah keheningan itu, ada satu rumah yang masih dihuni. Di sana, Kakek Kosidin (70) memilih bertahan, bukan karena tidak punya tempat untuk pergi, tetapi karena kecintaannya pada enam ekor domba peliharaannya.
"Saya sudah tinggal di sini sejak 1980. Suka duka sudah saya jalani di kampung ini. Kalau saya pergi, siapa yang akan menjaga domba-domba saya?," ujarnya lirih sembari memperhatikan kandang sederhana tempat hewan-hewan itu berada, Kamis (12/12/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anak dan cucu Kosidin sudah mengungsi ke posko pengungsian yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumah mereka. Namun, Kakek Kosidin tetap bersikeras tinggal. Baginya, domba-domba itu bukan hanya peliharaan, tetapi bagian dari hidupnya.
"Saya tahu risikonya tinggal di sini, apalagi pergerakan tanah ini bukan yang pertama. Dulu, tahun 2017, dua rumah warga juga hancur karena kejadian seperti ini," katanya sambil menunjuk sejumlah rumah dengan retakan yang menjalar di lantai.
Ada 6 ekor domba milik Kosidin, lima ekor domba dewasa dan satu ekor domba anaknya. Kakek Kosidin adalah saksi hidup dari perubahan tanah di Kampung Gempol. Ia mengenang bagaimana tanah mulai bergerak perlahan, menciptakan retakan-retakan kecil sebelum akhirnya membawa kehancuran.
Keberadaan Kakek Kosidin di kampung yang nyaris kosong membuat suasana semakin hening. Suara domba-domba yang sesekali mengembik menjadi pengingat bahwa kehidupan masih ada di kampung itu.
"Saya hanya berharap tidak ada pergerakan tanah lebih besar. Kalau ada apa-apa, saya tahu saya harus segera pergi. Tapi selama masih aman, saya akan tetap di sini," katanya dengan keyakinan.
Bagi Kakek Kosidin, Kampung Gempol adalah rumah, tempat ia membangun kenangan bersama keluarganya. Sunyi ini, bagi sebagian orang, mungkin mengerikan, tetapi bagi Kakek Kosidin, sunyi adalah bagian dari perjuangannya menjaga apa yang ia miliki.
Keputusan Kakek Kosidin mungkin sulit dipahami oleh sebagian orang. Namun, di balik sikapnya itu ada pelajaran tentang keberanian dan kesetiaan pada kehidupan yang ia bangun selama lebih dari 40 tahun di Kampung Gempol.
Bagi Kakek Kosidin, Kampung Gempol bukan sekadar tempat tinggal, melainkan saksi dari perjalanan hidupnya. Meskipun ancaman terus mengintai, ia memilih untuk bertahan, menjaga apa yang tersisa, sembari berharap bahwa suatu hari, kampung ini bisa kembali seperti sediakala.
"Kebanyakan tetangga kakek Kosidin yang sudah mengungsi itu anak-anak dan perempuan, kalau laki-laki mungkin akan mudah untuk berlari ketika ada apa-apa, tapi kalau perempuan kan sulit," kata Siti, tetangga Kosidin yang mengaku akan kembali ke pengungsian.
"Terkadang memang ada yang kalau siang, situasi enggak hujan memilih pulang ke rumah. Beres-beres, merapikan barang kalau misalkan hujan situasi berubah mengerikan, masih terasa getaran-getaran," lirih Siti.
(sya/iqk)