Thwaites, Gletser Kiamat yang Memicu Kekhawatiran

Kabar Internasional

Thwaites, Gletser Kiamat yang Memicu Kekhawatiran

Tim detikInet - detikJabar
Senin, 09 Des 2024 05:00 WIB
Gletser Kiamat
Gletser Kiamat (Foto: NBC News)
Jakarta -

Gletser Thwaites, yang dikenal sebagai "Gletser Kiamat," telah menjadi sorotan ilmuwan karena potensi dampaknya terhadap kenaikan permukaan laut global. Sebuah studi terbaru mengungkap jika gletser ini mulai mencair secara signifikan sejak 1940-an, memberikan wawasan baru tentang sejarah perubahan iklim yang mengkhawatirkan.

Dilansir detikInet, gletser terbesar di dunia ini berada di Antartika Barat dan telah menyumbang 4% dari kenaikan permukaan laut setiap tahun akibat mencairnya miliaran ton es. Namun, peran Thwaites lebih dari sekadar menyumbang kenaikan permukaan laut. Gletser ini bertindak sebagai penahan utama bagi Lapisan Es Antartika Barat, yang menyimpan cukup air untuk menaikkan permukaan laut hingga 3 meter jika runtuh sepenuhnya.

Studi yang diterbitkan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences pada Februari 2024 ini menggunakan analisis inti sedimen laut untuk merekonstruksi sejarah mencairnya gletser hingga 12 ribu tahun terakhir. Para ilmuwan menemukan bahwa pencairan cepat mulai terjadi pada 1940-an, dipicu oleh peristiwa El Niño ekstrem yang membuat gletser kehilangan keseimbangan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Julia Wellner, seorang profesor geologi di University of Houston dan salah satu penulis studi tersebut menyebutkan, hal ini menjadikan penelitian ini penting. Apa yang terjadi pada Thwaites tidak hanya terjadi pada satu gletser, tetapi merupakan bagian dari konteks perubahan iklim yang lebih besar.

"Jika kedua gletser itu mencair pada saat yang sama, itu merupakan bukti lebih lanjut bahwa mereka sebenarnya dipaksa oleh sesuatu," kata Wellner seperti dikutip dari CNN seperti dilansir Selasa (26/11/2024).

ADVERTISEMENT

Untuk membangun gambaran kehidupan Thwaites selama hampir 12 ribu tahun terakhir, para ilmuwan membawa kapal pemecah es ke dekat tepi gletser untuk mengumpulkan inti sedimen laut dari berbagai kedalaman.

Inti-inti ini menyediakan garis waktu historis. Setiap lapisan menghasilkan informasi tentang lautan dan es yang telah ada sejak ribuan tahun lalu. Dengan memindai dan menentukan umur sedimen, para ilmuwan dapat menentukan kapan pencairan besar-besaran dimulai.

Dari informasi ini, mereka yakin bahwa mundurnya Thwaites dipicu oleh El Nino ekstrem yang terjadi pada saat gletser kemungkinan besar sudah dalam fase mencair, sehingga membuatnya kehilangan keseimbangan.

"Ini seperti jika Anda ditendang saat Anda sudah sakit, dampaknya akan jauh lebih besar," kata Wellner.

Ahli geologi kelautan di British Antarctic Survey dan salah satu penulis studi, James Smith, menyebutkan bahwa temuan ini mengkhawatirkan karena menunjukkan bahwa begitu perubahan besar terjadi, sangat sulit untuk menghentikannya.

"Begitu pencairan lapisan es dimulai, hal ini dapat terus berlangsung selama beberapa dekade, bahkan jika apa yang telah dimulai tidak bertambah buruk," katanya.

Meskipun penyusutan serupa telah terjadi jauh di masa lalu, lapisan es pulih dan tumbuh kembali, gletser ini tidak menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Kondisi ini mungkin mencerminkan pengaruh perubahan iklim yang disebabkan manusia.

Ted Scambos, seorang ahli glasiologi di University of Colorado Boulder yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut, mengatakan penelitian ini mengonfirmasi dan menambahkan detail pada pemahaman kita tentang bagaimana kemunduran Thwaites dimulai.

"Sistem yang sudah hampir tidak stabil terkena dampak besar dari peristiwa yang sebagian besar bersifat alamiah," kata Scambos, mengacu pada El Niño.

"Peristiwa selanjutnya yang lebih muncul dari tren pemanasan iklim membawa keadaan lebih jauh, dan memulai kemunduran yang meluas yang kita lihat saat ini," katanya.

Martin Truffer, seorang profesor fisika di University of Alaska Fairbanks, mengatakan penelitian menunjukkan jika gletser berada dalam kondisi yang sensitif. Satu kejadian saja dapat menyebabkannya mencair dan sulit untuk pulih.

"Manusia mengubah iklim dan penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan kecil yang berkelanjutan pada iklim dapat menyebabkan perubahan bertahap pada kondisi gletser," kata Truffer yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut.

Antartika terkadang disebut sebagai raksasa yang sedang tidur, karena para ilmuwan masih berusaha memahami seberapa rentannya benua yang tertutup es dan terisolasi ini ketika manusia terus memanaskan atmosfer dan lautan.

Wellner adalah seorang ahli geologi, ia berfokus pada masa lalu, bukan masa depan. Tetapi ia mengatakan penelitian ini memberikan konteks penting dan mengkhawatirkan tentang apa yang mungkin terjadi pada es di wilayah penting Antartika ini.

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pemicu pencairan cepat telah berakhir, itu tidak berarti responsnya berhenti. "Jadi, jika es sudah mencair hari ini, hanya karena kita mungkin berhenti memanas, penyusutannya mungkin tidak berhenti," tutupnya.


Artikel ini telah tayang di detikInet. Baca selengkapnya di sini.

(iqk/iqk)


Hide Ads