Kawasan Desa Mayangan, Kecamatan Legonwetan, Kabupaten Subang dulunya terkenal akan hasil perikanan tambaknya. Namun, karena abrasi dan air pasang berkepanjangan sektor pencaharian warga itu hilang tenggelam.
Masih teringat di benak Awang Gunawan (59), saat ia melihat lebatnya pepohonan mangrove di pesisir Desa Mayangan. Ia yang kala itu masih mengenyam pendidikan di bangku sekolah menengah kerap mengikuti aktivitas ayahnya memanen beragam jenis udang tiap harinya.
Saat itu, untuk bisa masuk ke dalam area tambak, dulu Awang bisa mengaksesnya lewat kawasan wisata Pondok Bali.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Waktu saya SMP, yang saya ingat ketika itu bisa mencapai kuintalan udang tiap pagi itu, udangnya macem-macem ada udang windu, udang peci," ujar Awang ketika berbincang dengan detikJabar, Minggu (20/10/2024).
![]() |
Dalam satu hari, ia bisa memanen belasan hingga puluhan kilogram udang. Bahkan, pada suatu waktu, hasil panennnya bisa mencapai kuintalan. Awang sendiri bersama ayahnya menggarap tambak seluas puluhan hektare dengan pola empang parit.
Awang pun sejak kecil sudah bersahabat dengan mangrove, pasalnya ia menerapkan pola tambak wanamina di lahan Perhutani tersebut. Keberadaan mangrove di tambaknya dipertahankan, karena ia telah menyadari ada hubungan mutualisme antara mangrove dan hewan yang dikembangbiakan di tambak.
Ia pun menerapkan sistem buka tutup, agar air laut terperbaharui di tambak. Agar air tidak kotor atau biasa disebut 'cai beleng' yang bisa membuat mangrove mati.
"Habitat udang itu di akar-akar mangrove, ada hubungannya itu. Mangrove itu habitat udang, kepiting, segala macam, kalau terbuka tanpa mangrove itu hama gampang memangsanya, ketika ada mangrove udang-udang itu bisa sembunyi di akarnya," kata Awang.
Memasuki tahun 2003, hantaman ombak perlahan-lahan mulai menghantam ke lahan tambak. Awang pun kala itu tak bisa berbuat banyak. Ia pun menyayangkan langkah sejumlah oknum, yang sengaja memperluas area tambak'cai beleng' untuk mematikan mangrove.
Padahal untuk menumbuhkan mangrove dengan batang seukuran orang dewasa saja memerlukan waktu paling sedikit 15 tahun. Kini tak tersisa lagi sisa tambak di sana karena terendam Laut Jawa.
"Terakhir itu 2009 masih mengelola, makin ke sini air tidak tahan karena permukaan air yang terus meninggi. Tanggul di tambak pun sampai enggak kelihatan lagi karena air pasang," ujarnya.
Berdasarkan catatan Pemerintah Desa Mayangan, secara administratif desa yang berada di Teluk Ciasem itu memiliki luas kurang lebih 502 hektare. Tujuh puluh persen diantaranya telah terendam air laut, menyisakan kurang lebih 100 hektare daratan.
Kepala Desa Mayangan Darto mengatakan, di desanya ada empat RT yang terdampak kenaikan permukaan air laut terparah. Dua RT di dulunya bahkan berupa persawahan, namun karena air semakin naik akhirnya diubah warga menjadi tambak, yang kini sudah tak ada jejaknya lagi karena terendam air laut.
Air laut juga menyusup ke rumah-rumah warga, ia menyebut lebih 300 kepala keluarga (KK) terimbas rob dan abrasi secara langsung. Mereka yang beruntung pindah ke dataran yang lebih tinggi, ada yang juga yang bertahan tetapi meninggikan rumah mereka, namun ada juga yang pasrah rumahnya terendam bak 'Atlantis'.
"Hampir semuanya menjadi nelayan, karena tambak terendam dan kita juga jadi tidak punya sawah," ucap Darto.
Darto juga pernah berkonsultasi dengan Pemkab Subang terkait, pencegahan abrasi di Mayangan, namun ternyata membutuhkan modal yang sangat besar.
"Kami dapat fenomena rob yang tak ada surutnya, jadi si tambak-tambak kami terendam, tanggul lempes, hancur karena rob tak pernah surut dan masuk ke rumah-rumah warga," katanya.
(yum/yum)