Masa kampanye tinggal 45 hari lagi. Hasil survei elektabilitas pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat nomor urut 4, Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan masih unggul dibandingkan calon lainnya.
Dalam survei Indikator Politik Indonesia periode 3-12 Oktober 2024 dengan 1.200 partisipan di Jabar, pada survei 4 paslon Pilgub Jabar Dedi-Erwan unggul dengan angka 75,7 persen. Disusul pasangan Syaikhu-Habibie dengan angka 13,8 persen.
Sementara posisi ketiga diduduki Acep Adang-Gitalis sebesar 4,2% dan Jeje-Ronal 2,7%. Adapun partisipan yang tidak menjawab/tidak tahu sebanyak 3,6%.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal tersebut dipaparkan oleh Founder dan Peneliti Utama Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi. Dalam rilis temuan survei 'Siapa Kuat di Jawa Barat? Dinamika Elektoral Mutakhir di Tanah Pasundan', Burhan mengatakan bahwa jika Demul-Erwan dapat mempertahankan elektabilitasnya sampai waktu Pilkada, maka bisa memecahkan rekor suara terbanyak di Pilgub Jabar.
"Bulan ini 1/3 masyarakat di Jawa Barat sudah punya pilihan dan tahu kalau November akan ada pemungutan suara. Dalam simulasi kertas suara, terlihat masyarakat Jabar melirik Dedi Mulyadi. Mereka ini dari basis pendukungnya Ridwan Kamil, karena sudah ada kepastian RK cari peruntungan ke Jakarta. Mereka belum kenal nama lain selain Demul, jadi suaranya naik 2x lipat dibanding bulan Juli," ucap Burhan, Senin (14/10/2024).
"Jadi kalo tren ini berlanjut dalam pergerakan elektoral, mungkin Pak Dedi sanggup pecahkan rekor dengan suara terbesar dalam Pilgub Jabar. Karena di Pilgub Jabar pemenangnya itu tidak pernah lebih besar dari 40%. Dengan catatan, butuh keaktifan pemilihnya untuk hadir ke TPS," sambungnya.
Burhan bahkan mengaku belum pernah mendapati Pilkada dengan problem struktural yakni popularitas calon yang mendominasi hingga berdampak negatif ke lawan. Menurutnya, elektabiltas Dedi Mulyadi sangat tinggi berkat popularitas yang timpang dibanding calon lainnya.
"Ada beberapa faktor, salah satunya faktor endorsement Prabowo yang luar biasa. Seperti di tahun 2018, Sudrajat-Syaikhu atau pasangan 'Asik' juga diendorse Prabowo dengan tagline 2019 ganti presiden. Gerindra dan PKS allout dan Jabar selalu menangkan prabowo. Sekarang giliran Demul diendorse Prabowo," tutur Burhan.
"Tingkat keterdikenalan Demul ini timpang dibanding yang lainnya. Saya belum pernah menemui ini, problem struktural popularitas calon berdampak negatif ke lawan. Tapi, bukan berarti ini sudah pasti Demul menang karena ada sekian persen masyarakat yang kemungkinan mengubah pilihan," sambungnya.
Dalam paparan tersebut, dijelaskan bahwa nama Calon Gubernur Dedi Mulyadi unggul di angka 47,5 persen, disusul Ahmad Syaikhu 9,2 persen dalam survei top of mind cagub Jabar. Sementara dua lawan lainnya mendapat suara tak signifikan yakni Jeje Wiradinata 1,4% dan Acep Adang Ruhiyat 1,2%.
Meski kekuatan elektabilitas Demul-Erwan seolah belum terkalahkan, dalam sebulan terakhir terjadi penurunan suara. Sekedar diketahui, pada bulan September Indikator Politik mencatat elektabilitas Demul-Erwan sebesar 77,81%.
"Meski penurunan ini juga merupakan margin of error, tapi ini sekaligus mengirim alarm ke tim Dedi Mulyadi, karena penurunan ini meski dalam batas belum mengkhawatirkan tapi perlu diwaspadai. Sebab ada peningkatan elektabilitas di Syaikhu-Ilham," ucap Burhan.
Burhan mengatakan, sebetulnya ada isu miring yang berpotensi menyandung Demul dalam kampanye Pilgub Jabar 2024 yakni politik identitas. Namun, ia mengatakan nyatanya isu itu belum mampu menggoyahkan elektabilitas, dan dampak negatifnya masih dalam batas kewajaran.
Di lain sisi Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia, Djayadi Hanan mengatakan jika melihat data statistik, maka peluang pesaing lainnya akan sulit untuk menyusul elektabilitas Demul. Meski begitu, masih ada selisih masyarakat yang berpotensi mengubah suaranya.
Setidaknya ada 20,7% pemilih lemah dalam perolehan elektabilitas Demul. Dalam Pilgub Jabar 2024 kali ini, Djayadi melihat adanya keunikan yakni alasan adanya calon yang dominan di Pilkada pulau Jawa.
"Saya kira kita berharap ada pertarungan seru, jadi ini tidak saatnya kandidat lain lempar handuk putih karena bisa terjadi hal di luar dugaan. Kalau berdasar data historis, di Jawa itu tidak pernah ada kandidat yang dominan. Ada petahana atau tidak pun contohnya Aher hanya dapat kalau tidak salah 31%. Jadi the nature of politic competitive ini kan kalo ada yang dominan jadi menarik untuk digali," ucap Djayadi.
"Mungkin salah satu penjelasan very lead start. Lawannya lambat startnya. Terlebih Jabar ini luas, jadi wilayah itu menjadi tantangan apalagi yang baru masuk arena Pilkada. Tapi ada satu nama yang betul-betul mempersiapkan diri, dia muter terus bahkan sampai ke Bogor ialah Dedi Mulyadi," sambungnya.
Menurut Djayadi, cara Demul rajin ngonten dan blusukan ke daerah-daerah dengan konsep human interest yang melokal membuatnya punya tingkat disukai masyarakat sampai 90% lebih. Tapi lagi-lagi, Djayadi memberi catatan bahwa segala kemungkinan masih bisa terjadi di balik kotak suara.
"Gerindra juga tahun ini suaranya naik tajam dari periode sebelumnya. Dedi dapat efek bulan madu dari Pilpres, dari presiden terpilih. Endorsement effect ini berat untuk dilawan. Sosialisasi yang rajin niga menunjukkan keunggulannya. Agak susah melawannya, tapi sebelum Pemilu itu it's still anybody's game," ucap Djayadi.
(aau/sud)