Senin, (2/9/2024) sore yang mendung, suasana di kantor polisi tiba-tiba menjadi hening. Di sudut ruangan, beberapa remaja menunduk dalam-dalam. Bahunya bergetar, wajahnya basah air mata.
Tangisannya pecah ketika ia melihat sosok pria paruh baya yang perlahan melangkah ke arahnya. Itu bapaknya, wajahnya penuh kesedihan dan kebingungan. Tanpa pikir panjang, remaja itu bersujud di kakinya, meminta maaf atas kesalahannya.
PS (16) adalah satu dari 12 pelajar yang berhasil diamankan polisi sebelum mereka sempat terlibat dalam tawuran antar kelompok. Tawuran bukanlah hal baru di kota ini, terutama di kalangan remaja SMA yang sering kali terlibat konflik antar kelompok. Namun hari itu, PS dan beberapa temannya tak menduga akan berada di kantor polisi, menangis di hadapan orang tua mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Aku hanya ikut-ikutan, Pak," ucap PS dengan suara bergetar.
Ia mengaku tidak tahu harus berbuat apa ketika teman-temannya mengajaknya bergabung dalam rencana tawuran. Menolak berarti dianggap pengecut, sementara ikut berarti mempertaruhkan keselamatannya. Pilihan sulit itu, sayangnya, membuatnya terjerumus dalam situasi yang kini sangat ia sesali.
Di atas kursi merah, seorang bapak lain juga duduk dengan wajah yang sama. Asep Ubaidillah, nama bapak itu, masih tak percaya anaknya bisa terlibat dalam aksi berbahaya seperti ini.
Sejak kecil, ia selalu mendidik anaknya untuk menghindari kekerasan. Tapi kenyataan berbicara lain, darah muda dan pengaruh lingkungan membuat nasihatnya seperti angin lalu.
"Biasa saja di rumah, pulang sekolah di rumah, main sama teman-temannya di luar. Nggak ada gerak-gerik mencurigakan," kata Asep dengan suara serak menahan emosi.
Di sisi lain, pihak kepolisian menyadari bahwa masalah tawuran bukan sekadar soal pelanggaran hukum. Tawuran sering kali berakar dari masalah sosial yang lebih dalam dari rasa ingin diakui, pergaulan yang salah, hingga tekanan kelompok.
Kapolres Sukabumi Kota AKBP Rita Suwadi menjelaskan bahwa pihaknya berkomitmen tidak hanya untuk menindak, tapi juga membina para pelajar tersebut.
"Kami memberikan pembinaan kepada mereka, agar mereka mengerti bahaya dan konsekuensi dari tindakan mereka. Kami juga menggandeng sekolah dan keluarga untuk memberikan pemahaman lebih dalam, agar kejadian ini tidak terulang lagi," kata Rita.
Namun, di luar upaya polisi dan sekolah, kisah PS adalah cermin dari tantangan yang dihadapi banyak remaja saat ini. Di balik tawuran, ada kisah tentang pencarian jati diri, tekanan sosial, dan rasa ingin diterima.
Bagi PS, hari itu menjadi hari pembelajaran yang tidak akan pernah ia lupakan. Ketika ia akhirnya berdiri dan memeluk ibunya, ia tahu satu hal pasti bahwa ia tak ingin lagi mengecewakan orang tuanya. Di balik tangisan penyesalan itu, tersimpan harapan bahwa masa depan masih bisa diperbaiki.
"Aku akan berubah, Pak," katanya lirih.
Bagi setiap orang tua yang hadir hari ini, meski hati mereka terluka, mereka tetap memberikan harapan. Bahwa anak-anak mereka, meski tersesat sesaat, masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki langkah demi masa depannya.
(orb/orb)