Sejarah Jampana, dari Tandu Pengantin Sunat hingga Pawai Agustusan

Sejarah Jampana, dari Tandu Pengantin Sunat hingga Pawai Agustusan

Dian Nugraha Ramdani - detikJabar
Rabu, 07 Agu 2024 06:00 WIB
Kesenian Sisingaan asal Subang Jawa Barat
Foto: Istimewa
Bandung -

Jika ada pawai memeriahkan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI di Bandung dan sekitarnya, maka akan selalu tampak orang-orang menggotong jampana atau tandu. Jampana yang banyak menyembul di antara lautan manusia peserta pawai.

Jampana (jempana di dalam bahasa Indonesia) itu bisa berbentuk rumah-rumahan, singa-singaan, burung-burungan, naga-nagaan, dan bentuk-bentuk lainnya sesuai kreasi warga yang membuatnya. Untuk menggotong jampana, perlu empat orang dengan tinggi tubuh yang seragam.

Yang menarik bukan saja bentuk, tetapi isinya. Pada jampana-jampana saat pawai Agustusan, warga menggantung-gantungkan makanan berupa hasil bumi seperti pisang, ubi, buah-buahan lainnya, bahkan juga kudapan olahan seperti opak, kerupuk, wajit Cililin, dan sebagainya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hasil bumi dan makanan itu dimasukkan ke dalam plastik. Ujung plastik diikat tali dan ujung tali diikatkan ke jampana. Lihatlah, jampana penuh dengan makanan.

Sebelum arak-arakan atau pawai dinyatakan usai, tak ada yang boleh menyentuh makanan-makanan itu. Jika pawai usai, maka makanan boleh diambil siapapun. Terkadang, warga berebut meraih makanan pada jampana-jampana itu.

ADVERTISEMENT

Pawai jampana, nyaris menjadi pemandangan yang umum ditemukan di Sunda, terutama ketika masyarakat memeriahkan HUT Kemerdekaan RI, pada tanggal 17 Agustus setiap tahunnya. Dari manakah tradisi ini berasal? Bagaimana sejarah jampana? Simak di bawah ini yuk!

Sejarah Jampana, Tandu Pengantin Sunat

Cukup sulit menelusuri kapan jampana mulai digunakan di Jawa Barat. Namun, Museum Sri Baduga memiliki koleksi jampana yang cukup tua.

Jampana koleksi museum di Kota Bandung itu adalah jampana berkepala garuda dengan dua sayap di kanan-kiri jampana itu. Jampana ini dinamai Tandu Garuda Mina.

Menurut deskripsi pada situs Pameran Bersama Museum Ranggawarsita, jampana koleksi Museum Sri Baduga itu pernah dipakai untuk mengarak pengantin sunat pada tahun 1930.

"Jampana (Tandu Garuda Mina) adalah tandu untuk calon pengantin sunat berasal dari Cirebon. Jampana ini memiliki kepala Garuda (burung mitos dari kepercayaan Hindu, mewakili kekuasaan), tubuh ular atau naga (mewakili kesuburan), sepasang sayap di depan dan ekor ular/naga mencuat," tulis situs itu.

Bahan yang digunakan dalam pembuatan Tandu Garuda Mina itu adalah kayu lunak, kulit, kain rumbai dari biji honje sebagai hiasan penutup, dan logam.

Di dalam Kamus Sundadigi, ada keterangan bahwa jampana bisa bermakna gotongan yang terbuat dari kayu atau bambu yang diisi makanan, namun nyaris selalu harus dibubuhi ornamen menyerupai binatang buruan seperti uncal (kijang), kerbau, dan kuda.

Makna lainnya menurut kamus tersebut, jampana adalah tunggangan pengantin sunat. Ada pula keterangan bahwa jampana adalah kendaraan pengagung pada zaman dahulu.

Sedekah Bumi Pawai Agustusan

Kritik sosial warga Sunda atas perilaku penjajah Belanda yang selalu naik jampana saat bepergian kemanapun dirangkum dalam sebuah permainan bernama Jajampanan.

Situs Warisan Budaya Tak Benda, Kemdikbud RI menyebutkan Jajampanan, atau permainan dengan menggotong satu orang pemainnya, seolah-olah sedang menggotong jampana dinyatakan sebagai Warisan Budaya Tak Benda pada tahun 2012.

Jajampanaan adalah kreasi dari bentuk jampana yang digunakan sebagai simbol "keagungan". Kreasi lainnya adalah menjadikan simbol keagungan itu bukan untuk "keangkuhan" sebagaimana yang dilakukan penjajah, melainkan menjadikannya sumber kebahagiaan dengan cara berbagi hasil bumi dan kudapan olahan.

Karenanya, jampana penuh makanan pada pawai Agustusan adalah momentum keruntuhan kelakuan "penjajah" dan kemerdekaan warga Indonesia, bahwa yang perlu diagungkan sejatinya adalah sikap gotong royong dan saling berbagi makanan.

Sedekah bumi sendiri sebelumnya disebut sesaji bumi, namun, sesaji bumi biasanya dilakukan masyarakat pesisir dengan melarung hasil bumi ke laut sebagai ungkapan syukur atas nikmat yang melimpah. Di Bandung dan sekitarnya, sesaji bumi diganti menjadi sedekah bumi, sama-sama ungkapan syukur dengan cara berbagi kepada sesama.




(tya/tey)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads