Ida Nuraida (45) harus sabar dan tegar tinggal di rumah tak layak huni bersama dua anaknya. Dia merupakan warga Sopla, Desa Karangmulya, Kecamatan Padaherang, Kabupaten Pangandaran.
Setahun yang lalu Ida ditinggal cerai suaminya dan harus menanggung beban sebagai keluarga. Satu anaknya masih duduk di bangku kelasa 1 SD dan 1 kelas 6 SD.
Bersama kedua anaknya Ida tinggal dengan kondisi rumah tanpa atap. Bahkan puing-puing bangunanya roboh sebagian dan berserakan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, kondisi dinding temboknya banyak yang jebol akibat gempa bumi beberapa waktu lalu. Bahkan, untuk mandi dan BAB harus berjalan sejauh 50 meter dari lokasi rumahnya. Tempat itu merupakan WC umum milik desa.
Ida dan keluarga tinggal di dapur rumah berukuran 3x3 meter dengan beratapkan seng yang sudah rusak. Apabila hujan deras Ida harus merasakan dinginnya kondisi rumah dan tempat tinggalnya. Terlebih, jika kondisinya hujan disertai angin.
"Kalo hujan rintik air hujannya masuk ke ruangan rumah tempat tidur. Kadang anak-anak juga sering merasa tidak nyaman kecipratan air sampai bangun dan tidak bisa tidur," ucap Ida, Senin (10/6/2024).
Dia bercerita, jika rumahnya itu dibangun sejak masih ada suaminya. Namun, kata dia, karena keterbatasan biaya, rumah dibangun dengan tidak menggunakan pondasi.
"Tidak lama dibangun, hanya saja atapnya ambruk, bahkan dindingnya pun ambrol," katanya.
Menurutnya, yang pertama ambruk itu bagian dapur, terus dinding ruangan tengah. Kondisi itu membuat dua jendela kaca pecah dan sudah dipindahkan sisanya.
"Memang, dahulu rumahnya pernah diajukan oleh desa untuk pembangunan rumah tidak layak huni atau Rutilahu. Tapi, sampai sekarang enggak ada," ucap dia.
Bahkan, untuk kamar mandi pun Ida harus berjalan kaki untuk mendapatkan air yang bersih. "Dibawah kan, ada tempat mandi yang dibangun Pemerintah Desa. Ya, meskipun malu sama tetangga, mau gimana lagi," ucapnya.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Ida bekerja sebagai pesuruh atau buruh harian lepas. "Kalau untuk memenuhi kebutuhan saya jadi pembantu atau buruh harian lepas pendapatannya sehari Rp 25 ribu," kata Ida.
Dengan penghasilan itu, menurut Ida, harus membaginya untuk makan dan biaya kebutuhan anak sekolah. "Saya punya anak dua, yang kecil kelas 1 SD dan yang besar kelas 6 SD, bentar lagi mu ke SMP," kataya.
Meskipun dengan kondisi ekonominya yang serba kekurangan, Ia terus berupaya agar kedua anaknya tetap bersekolah. Selain menjadi pesuruh harian, Ida pun menerima jasa pijit bagi siapapun yang memanggilnya. "Kalau tambahan penghasilan saya suka menerima panggilan pijit, tidak setiap hari ada. Paling gede ada yang memberi Rp 50 ribu," ucapnya.
Untuk makan kedua anaknya, Ida mengaku bersyukur banyak tetangga yang peduli memberikan makanan untuk kedua anaknya. "Alhamdulillah kalau anak saya sering ada tetangga yang memberikan makan," katanya.
Setiap bulannya, kata Ida, untuk beras menerima 10 kg dari program pemerintah. "Saya dapat bantuan PKH ada beras 10 kg per bulannya. Saya cukup-cukupi saja," ujarnya.
Ida mengaku tidak kuasa melihat kedua anaknya saat mereka berupaya membantu perekonomian keluarga. "Anak-anak saya kalau ada waktu luang suka nyari rongsok. Gak tega sebetulnya, tapi mereka mau untuk jajan saja," katanya.
"Rongsok itu, mereka jual. Tapi sebenarnya itu kemauan anak, kalau saya tidak menyuruh karena kalau pingin jajan saya juga ngasih," ucapnya.
Saat ini Ida hanya mampu berharap kedua anaknya tetap semangat sekolah dan dapat menerima kondisi ini dengan ikhlas sabar. "Saya mah cuma berharap anak-anak tetap sekolah dan tidak malu dengan kondisi ini. Kami juga mengharapkan bantuan untuk perbaikan rumah agar kedua anak saya merasa nyaman tinggal," ucap dia.
![]() |
Respons Pemerintah Desa Karangmulya
Kepala Desa Karangmulya Wahyuman mengatakan pihak desa sebetulnya sudah mengusulkan ke Dinsos dan kemana-mana untuk bantuan rumah tidak layak huni.
"Sudah pernah dikasih bantuan Rutilahu, tapi tidak punya biaya untuk operasionalnya," kata Wahyuman saat dihubungi.
Namun memang, sekarang ini kondisi rumah yang ditempati Ida dan kedua anaknya sudah rata karena ambruk. "Jadi, boro-boro ngebangun sendiri. Intinya ibu Ida ini tanggung jawab pemerintah. Kadang untuk kebutuhan pokok makan sehari hari saja, dia harus dibantu tetangganya," katanya
Kendati demikian, kata Wahyuman, pemerintah desa sudah berupaya untuk mengusulkan bantuan ke mana-mana. "Tapi, sampai saat ini belum terealisasi," ucap Wahyuman.
Dia mengatakan, kondisi bangunan rumah Ida hancur baru saat ini karena memang tidak ada fondasi kuat seperti memakai besi. "Dan itu, dibangun sebelum saya menjadi kepala desa di Karangmulya. Sekarang, malah makin hancur. Belum ditambah guncangan gempa bumi yang terjadi sebelumnya," ujarnya.
Wahyuman mengaku bersama kepala dusun dan warga sekitar sudah inisiatif membongkar bangunan rumah yang berpotensi ambruk. "Sebagian dinding rumahnya kita bongkar yang tujuannya supaya tidak terlalu membahayakan. Daripada nanti ambruk menimpa penghuninya, kan lebih parah," katanya.
(sud/sud)