Kata Pakar Komunikasi Unpad soal Kontroversi Revisi RUU Penyiaran

Kata Pakar Komunikasi Unpad soal Kontroversi Revisi RUU Penyiaran

Wisma Putra - detikJabar
Rabu, 22 Mei 2024 13:30 WIB
Ilustrasi Penyiaran Nasional
Ilustrasi penyiaran. Foto: Kenny Gida
Bandung -

Organisasi kewartawanan di Indonesia menyuarakan penolakan revisi RUU Penyiaran. Mereka menilai Revisi UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 mengancam kebebasan pers.

Salah satunya, dalam beleid RUU Penyiaran pada Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) memuat aturan larangan adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi. Berikut bunyi pasal 50 B ayat 2 huruf (c); selain memuat panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai:...(c.) penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

Dekan Komunikasi Unpad Dadang Rahmat Hidayat mengatakan perjuangan soal revisi UU Penyiaran sudah cukup lama. Namun, ia menyebut yang menjadi perhatian sejatinya berkaitan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi terbarukan, yang berdekatan dengan platform media penyiaran.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi sebetulnya paling utama itu, contohnya digitalisasi penyiaran saja dalam UU 32 itu tidak ada cantolannya, makanya digitalisasi penyiaran akhirnya menggunakan UU Cipta Kerja, Omnibuslaw," kata Dadang kepada detikJabar, Rabu (22/5/2024).

Dadang mengungkapkan soal kontroversi draf revisi RUU Penyiaran yang bertabrakan kebebasan pers. Draf tersebut menyinggung larangan jurnalisme investigasi.

ADVERTISEMENT

"Ini tampaknya jadi isu penting juga untuk dibahas dan banyak yang memandang ini berpotensi berkaitan dengan ancaman terhadap kemerdekaan pers. Menurut saya jadi menarik karena dilarang disiarkan jurnalisme investigasi, padahal jurnalisme investigasi itu adalah karya jurnalistik dan bahkan dalam konteks jurnalistik, bukan berarti tidak penting berita-berita yang sifatnya noninvestigasi. Tapi jurnalisme investigasi ini bisa diartikan sebagai sebuah crown, atau salah satu mahkota penting di dalam jurnalistik karena di situ melalui proses cukup panjang," ungkapnya.

Menurut Dadang, untuk menghasilkan karya jurnalisme investigasi, jurnalis harus melakukan verifikasi, serta mencari sumber yang di mana pencarian sumber-sumber itu tidak mudah. Dadang pun merasa aneh dengan adanya pelarangan penyiaran jurnalisme investigasi.

"Dilarang genrenya dan ini yang diramaikan, sehingga pelarangan karya jurnalisme ini mendapatkan tentangan dari berbagai pihak, sebaiknya jangan dilarang karya jurnalistik itu di berbagai platform , mau di cetak, online, penyiaran, itu yang cukup penting," terangnya.

Dadang menyebut, saat ini pemerintah tinggal melihat yang selama ini muncul di UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 dan UU Pers No 40 Tahun 1999. Jangan sampai terjadi dualisme aturan.

"UU Pers yang di mana masih ada semacam pengaturan di UU 32 diatur, dan di UU 40 juga diatur jadi di sana diatur, di sini diatur. UU Pers oleh Dewan Pers melalui kode etik jurnalistiknya, muncullah peraturan Dewan Pers, lalu KPI melalui P3SPS-nya diatur tentang jurnalismenya. Diatur ya, tapi tidak dilarang," terang Dadang.

Dadang setuju terkait pelarangan program yang mengandung pornografi hinga membuat berita bohong. Namun dia memiliki pandangan, jangan sampai ada pelarangan dari genre karya jurnalistik itu sendiri, salah satunya jurnalisme investigasi.

"Pandangan saya kalau semua karya jurnalistik melalui UU Pers tegaskan juga dalam UU Penyiaran, misalnya begitu. Sehingga KPI bicara tentang program siaran nonkarya jurnalistik, kalau diatur dua-duanya jangan berisi larangan pada genrenya, bukan pada karya jurnalistiknya. Kalau dua-duanya mau diatur harus ada komite antara KPI dengan Dewan Pers yang terkait dengan karya jurnalistik," terangnya.

Dadang menyarankan draf revisi RUU Penyiaran ini harus dibuka seoptimal mungkin, agar mendapatkan masukan, partisipasi dari banyak pihak termasuk teman-teman komunitas pers sendiri. Jangan sampai ada larangan karya jurnalistik karena berpotensi terhadap kebebasan pers.

"Sekarangkan muncul dari si pembuat undang-undang nggak begitu maksud kami, ini masih ada miss. Jangan-jangan ada mispersepsi, ada miss representasi, konstruksi yang berbeda, di situ peluang untuk ayo samakan frekuensinya," paparnya.

"Artinya UU Penyiran ini harus tetap direvisi, tapi tadi dengan catatan hal yang sifatnya sensitif, pembatasan bahkan pelarangan terhadap karya jurnalistik itu jangan dimasukkan," pungkasnya.

(wip/sud)


Hide Ads