Perseteruan Iran dan Israel semakin memanas. Pemicunya adalah ledakan pada kantor kedutaan besar Iran di Damaskus, Suriah pada 1 April 2024, yang diklaim dilakukan Israel. Konflik berlanjut hingga hari ini.
Akar perseteruan Iran-Israel bermula pada 1979 ketika Republik Islam Iran diproklamirkan Ayatullah Ruhullah Khomeini melalui Revolusi Islam Iran. Aktor Intelektual revolusi itu adalah pemikir Islam 'kiri', Ali Syari'ati.
Sebelum Republik Islam Iran berdiri, Iran-Israel pernah menjalin hubungan yang mesra. Hubungan itu saling menguntungkan keduanya. Utamanya soal minyak. Iran ingin minyaknya ekspor ke Israel, bahkan ke Eropa dan pada saat yang sama, Israel memang perlu sumber daya alam Iran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagaimana kisahnya? detikJabar merangkumnya dari berbagai sumber terkait, terutama studi Marta Furlan, seorang doktor di Sekolah Hubungan Internasional Universitas St. Andrews, Inggris, berjudul "Israeli-Iranian relation: past friendship, current hostility (2022)", dan studi tokoh yang terlibat dengan mengutip Britannica.
Mohammad Reza Shah Pahlavi
Mohammad Reza Shah Pahlavi (1919-1980) adalah anak pendiri rezim Pahlavi di Iran, Reza Shah. Ayah Mohammad Reza yang berlatar militer itu menjadi raja di Iran pada 1925. Mohammad Reza sendiri merupakan anak yang tertua.
Mengenyam pendidikan di Switzerland, Mohammad Reza kembali ke Iran pada 1935. Pada tahun 1941, mengutip Britannica, Uni Soviet dan Britania Raya khawatir raja Iran yang sedang berkuasa bersekutu dengan Nazi di Jerman yang akibatnya akan meloloskan raja dari pengawasan kedua negara itu dan memaksanya ke pengasingan.
Maka, pada tahun yang sama, Mohammad Reza Shah Pahlavi menggantikan ayahnya sebagai raja Iran. Shah ini memimpin Iran pada 1941-1979.
Pada tahun 1948, melalui doktrin Ben Gurion, berdirilah negara Israel di Palestina, yang pendirian ini mendapat serangan dari berbagai negara Arab yang berkomitmen untuk kehancuran negara Yahudi itu.
Namun, kerja sama terus dijalin Israel bagi dengan negara Arab maupun negara non-Arab. Dan di antara negara-negara yang dijalin kerja sama, Iran adalah kesayangan Israel. Menurut Marta Furlan, ini karena adanya tumpang-tindih kepentingan antara Iran-Israel ketika itu.
David Ben Gurion, Perdana Menteri Israel yang pertama bahkan mengatakan di hadapan Kenisah (perhimpunan) pada Oktober 1960, sebagaimana dikutip Marta Furlan: "Pertemanan ini (antara Israel dan Iran), ada dan stabil, karena ini berdasar pada hubungan saling menguntungkan yang kedua negara menikmatinya".
Kerja Sama Apa Saja?
Marta Furlan menyebutkan, Israel kena boikot negara-negara Arab yang merupakan sumber-sumber minyak bumi. Sedangkan, Israel sangat perlu sumber energi untuk perkembangan negaranya yang baru seumur jagung. Energi itu akhirnya didapatkan dari Iran. Setali tiga uang, Iran pun merasa perlu sumber daya minyaknya terekspor.
Hubungan di bidang ini terjalin pada 1950-an. Pada 1967, Israel meyakinkan Iran untuk bersama-sama membangun pipa Eilat-Ashkelon yang menghubungkan Laut Merah dan Mediterania, yang tidak hanya akan memfasilitasi pembangunan jalur pipa Eilat-Ashkelon sebagai jalur ekspor minyak Iran ke Israel tetapi akan memberi Teheran akses ke pasar minyak Eropa. Langkah ini berhasil.
Hubungan Iran-Israel semakin mesra dengan kerja sama yang dijalin bukan hanya soal minyak bumi. Pasca-perang 1948, Iran memberi izin wilayahnya untuk menjadi jalur masuk kaum Yahudi yang terusir dari Irak ke Israel.
Pada tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, kata Marta Furlan, Teheran memungkinkan Israel menggunakan wilayahnya untuk memperluas dukungan kepada pemberontakan Kurdi di Irak utara, yang memang dimaksudkan Mohammad Reza Shah Pahlavi untuk melemahkan Baghdad.
Hubungan dengan Israel ini dinilai kondusif oleh Mohammad Reza Shah Pahlavi dan dimanfaatkan untuk memperkokoh posisi Iran di Washington juga sebagai batu loncatan agar Iran menjadi negara modern yang maju secara teknologi.
Kecondongan Mohammad Reza Shah Pahlavi ke Israel ini mengizinkan datangnya para ahli Israel ke Iran sebagai penasihat, instruktur, dan kontraktor Israel di berbagai bidang, tak terkecuali militer dan pertanian. Bahkan didirikan pula sekolah bahasa Ibrani di Teheran.
Ayatullah Ruhullah Khomeini
Britannica menulis namanya dengan ejaan Rohullah Khomeini (1902-1989). Lahir di Khomeyn, Iran, Khomeini merupakan keturunan dari para Mullah (pemuka agama)
Ketika dia berumur 5 bulan, ayahnya dibunuh oleh kaki tangan seorang tuan tanah lokal di sana. Dia lantas hidup dengan ibu dan bibinya, lalu sepeninggal keduanya, dia tinggal bersama kakaknya, Murtaza. Oleh kakaknya ini, Khomeini disekolahkan ke berbagai lembaga pendidikan Islam.
Pada 1922, Khomeini bermukim di Qum, sebuah kota yang menjadi pusat kaum intelektual di Iran. Dia lantas menjadi intelektual yang menonjol di kota itu, hingga pada 1930-an, dia tersohor dengan nama Khomeini, nama tanah kelahirannya.
Khomeini, menurut Britannica, subur dalam menulis berbagai tema terutama Filsafat Islam, hukum, dan etnik. Yang melalui tulisan-tulisan itu, dia sekaligus berterus terang atas sikap oposisinya kepada pemimpin Iran, Mohammad Reza Shah Pahlavi. Khomenei juga mengutarakan "pengaduannya" melalui tulisan-tulisannya atas pengaruh Barat kepada Iran.
Pada 1950, dia masyhur dengan gelar Ayatullah, sebuah gelar kehormatan untuk pemuka agama di Iran. Lalu pada 1960-an, dia ditahbiskan sebagai Grand Ayatollah, pemimpin tertinggi keagamaan dalam komunitas Syiah di Iran.
Oposisi Khomeini kepada Mohammad Reza Shah Pahlevi memuncak ketika raja Iran itu memberikan skorsing pada parlemen lalu melakukan modernisasi secara bertubi-tubi di Iran. Britannica menyebutkan, keputusan itu menumbuhkan di antaranya emansipasi bagi perempuan, penghentian pendidikan agama, dan reformasi agraria yang cenderung memihak kaum aristokrat.
Khomeini terlibat dalam demonstrasi menentang aturan-aturan tersebut yang menyebabkan pada 1963 dia dipenjara. Setahun dipenjara, dia dipaksa mengasingkan diri. Dia pergi ke Irak. Namun, upayanya untuk menjadi oposisi tak kendur.
Saddam Hussein, pemimpin Irak mengusir Khomenei. Dia lalu pindah ke Neauple-le-Chateau, sebuah daerah pinggiran di Paris, Prancis pada 1978. Dari sini, gemanya tak terhenti. Rekaman ceramah-ceramahnya memicu demonstrasi besar-besaran di Iran yang mengarah pada penggulingan Mohammad Reza Shah Pahlavi. Reza tumbang pada 16 Januari 1979.
Pada 1 Februari 1979, Khomeini tiba di tengah-tengah kemenangan di Iran dan segera dinobatkan sebagai pemimpin revolusi Iran.
Setelah Republik Islam Iran Berdiri
The Begin-Sadat Center for Strategic Studies, Bar-Ilan University menyebutkan semangat dari perlawanan Ayatullah Ruhullah Khomeini kepada pemimpin Iran, Mohammad Reza Shah Pahlavi adalah "Khomeinisme".
Khomeinisme oleh situs tersebut disebut menggelorakan antisemitisme dan antizionisme. Ini berdasar pada tindakan Mohammad Reza Shah Pahlavi yang kemudian menjadi bumerang bagi raja Iran itu.
Marta Furlan menyebutkan, Khomeini menjadikan hubungan antara Iran-Israel yang dikembangkan Mohammad Reza Shah Pahlavi sebagai kartu trup untuk menggulingkan raja tersebut. Khomenei menjadi pemimpin di Iran pada 1979, dan dia mengganti sistem pemerintahan Iran menjadi Republik Islam Iran.
Pada minggu-minggu pertama revolusi Islam di Iran tersebut, Teheran memutuskan semua hubungan formal dengan Israel dan memulai era baru hubungan Iran-Israel dengan karakter permusuhan yang sengit. Permusuhan itu berlangsung hingga saat ini.
Kiwari, permusuhan sengit antara Iran-Israel, dipicu dengan serangan pada gedung Kedubes Iran di Damaskus pada 1 April 2024, menjadi semakin panas. Konflik itu disebut-sebut berpotensi menjadi perang terbuka.
(orb/orb)