Kementerian Agama (Kemenag) mengungkap sederet biang kerok yang ditengarai jadi penyebab turunnya tren pernikahan di Jawa Barat. Beberapa faktor disebutkan punya andil yang kemungkinan warga Jawa Barat menunda atau enggan menikah.
Ketua Tim Peningkatan Kualitas Kepenghuluan dan Fasilitasi Keluarga Sakinah Kemenag Jabar Toto Supriyanto mengatakan, tren penurunan pernikahan menjadi perhatian dari Kemenag pusat sejak 2023 lalu. Karenanya, tim khusus telah dibentuk untuk mencermati isu tersebut.
"Memang ini jadi perhatian pusat, sejak 2023 kemarin juga Kemenag sudah menjadikan ini sebagai isu yang perlu dicermati dan Kemenag sudah menurunkan tim survei, cuma memang belum ada publish hasilnya," kata Toto saat dihubungi, Kamis (14/3/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti diketahui, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, pernikahan di Jabar mengalami tren penurunan yang jumlahnya mencapai 28 ribu pernikahan. Fakta ini tertulis dalam Jawa Barat Dalam Angka 2024 yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS).
Dari 364.484 pernikahan pada 2021, berkurang menjadi 336.912 pernikahan di tahun 2022. Bahkan angka itu terus menurun di tahun 2023 lalu yakni 317.971 pernikahan.
Meski belum ada rilis resmi dari Kemenag terkait survei yang dilakukan untuk mencermati tren turunnya pernikahan, namun Toto memperkirakan ada beberapa penyebab yang kemungkinan membuat angka pernikahan semakin berkurang.
Kemungkinan penyebab pertama kata Toto ialah adanya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan yang mengatur batas minimal usia calon mempelai pria dan wanita.
"2019 kan turun undang-undang yang merevisi usia minimal nikah yang tadinya itu perempuan bisa 16 tahun, setelah turunnya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019, menjadi perempuan pun minimal berusia 19 tahun," jelasnya.
Perubahan batas minimal usia itu menurutnya banyak membuat calon pengantin yang berusia di bawah 19 tahun kemudian memilih untuk menikah tanpa diketahui negara atau menikah sirih. Dengan menikah siri, data pernikahan otomatis tidak tercatat oleh negara.
"Artinya memang Kemenag mensinyalir banyak dari mereka yang tidak masuk pencatatan, karena masyarakat menganggap sudah biasa di usia itu (18 ke bawah) kalau dulu bisa, jadi diantaranya mereka tanpa sepengetahuan KUA ya itu mereka menikah (nikah sirih)," ungkap Toto.
"Jadi karena masyarakat masih belum beradaptasi dengan undang-undang yang baru, itu disinyalir jadi mereka akhirnya memaksakan diri untuk tidak dicatat, kan oleh KUA ditolak. Jadi sebagian dispensasi, sebagian nikah sirih," lanjutnya.
Berikutnya, menurunnya tren pernikahan juga bisa disebabkan karena berhasilnya kampanye pencegahan perkawinan anak. Kampanye itu kata Toto getol dilakukan Kemenag seiring terus melonjaknya angka perkawinan anak.
"Memang kita kan gencar untuk mencegah perkawinan anak. Kan perkawinan anak usia 18 tahun ke bawah. Kalau mungkin itu berhasil, kan saya juga belum tahu, sehingga mungkin jadi penyumbang menurunnya jumlah pernikahan, itu bagus," ujarnya.
Selain itu, masih kentalnya anggapan jika seseorang menikah harus mapan bisa jadi faktor penyumbang menurunnya tren pernikahan. Menurutnya, banyak yang menganggap calon pengantin harus siap dari sisi ekonomi lebih dulu.
Dengan begitu, banyak masyarakat yang mementingkan karir dan hidup mapan sebelum melangsungkan pernikahan hingga kemudian memilih untuk menunda pernikahan.
"Takutnya juga seiring dengan kesulitan ekonomi, sebagian mereka menunda pernikahan. Jadi mempersiapkan dulu ekonomi, tapi ekonomi belum terkejar jadi menunda dulu," paparnya.
Lebih lanjut, Toto mengungkapkan, yang menjadi kekhawatiran Kemenag dari isu turunnya pernikahan adalah kejadian seperti di Jepang yang mengalami resesi seks dan membuat angka kelahiran menjadi rendah..
"Tapi yang dikhawatirkan oleh Kemenag adalah takutnya seperti Jepang. Tiba-tiba masyarakat gak mau menikah, gak mau berhubungan seks, gak mau punya anak, akhirnya kan jadi masalah seperti Jepang," tegasnya.
Karena itu, Kemenag telah mencermati perubahan perilaku masyarakat khususnya generasi milenial dan generasi Z dimana saat ini, mulai muncul isu-isu terkait tidak ingin menikah dan memiliki anak.
"Kemenag sudah mencermati itu takutnya ada perubahan nilai dari masyarakat, karena kan muncul sebagian yang gak mau menikah dan gak mau punya anak," tutup Toto.
(bba/sud)