Kenaikan harga beras di pasaran yang mencapai Rp 17 ribu sampai Rp 19 ribu per kilogram, ternyata tak terlalu membawa dampak signifikan bagi para petani di Kota Tasikmalaya. Meski ada kenaikan harga jual gabah, para petani tetap harus melakukan siasat agar hasil panennya bisa terjual dengan harga maksimal.
"Sekarang harga gabah tertinggi diterima Rp 6.200 per kilogram, tapi kita harus pilih-pilih bakulnya. Kebanyakannya diterima harga Rp 5.700 per kilogram," kata Agus (57) petani warga Kelurahan Nagarasari Kecamatan Cipedes Kota Tasikmalaya, Selasa (20/2/2024).
Blok persawahan Gunung Golong seluas belasan hektar di wilayah itu, saat ini sedang memasuki masa panen, termasuk sawah garapan Agus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Harga jual Rp 6.200 per kilogram itu menurut Agus baru berlaku selama 3 hari terakhir, itu pun hanya seorang bakul atau pengepul yang berani menerima dengan harga tersebut.
"Untung saya dan pemilik lahan tidak punya utang ke bakul, jadi bisa bebas menjual ke mana saja. Kalau petani yang sudah terikat utang, susah cari harga tertinggi. Paling diterima 55 atau 57 (Rp 5.500 sampai Rp 5.700 per kilogram)," kata Agus.
Dia mengatakan untuk memaksimalkan harga jual gabah, petani bisa saja mengeringkan dulu gabah hasil panennya. Sehingga gabah bisa diterima pengepul dengan kisaran harga Rp 8.000 sampai Rp 8.500 per kilogram. Tapi kebanyakan petani, terutama yang hasilnya banyak, mengaku kesulitan untuk mengeringkan gabah.
"Bukan tidak ingin mengeringkan gabah supaya harga jualnya tinggi, tapi kalau banyak menjemurnya butuh lahan luas. Kemudian sekarang kan sering hujan. Jadi mendingan dijual basah saja," kata Agus. Selain itu mereka juga ingin segera menjual hasil panennya agar bisa segera menanam kembali.
Meski harga jual gabah basah dan harga jual beras di pasaran terpaut jauh, lebih dari dua kali lipat, namun Agus mengaku bersyukur. Harga jual Rp 6.200 per kilogram, menurut dia sudah lumayan, apa lagi jika dibandingkan dengan harga jual pada masa panen sebelumnya.
"Ya inginnya bisa 65 lebih (Rp 6.500 per kilogram), tapi 62 juga sudah lumayan, Alhamdulillah. Kan panen kemarin hanya diterima 55 (Rp 5.500 per kilogram)," kata Agus.
Meski sebatas petani penggarap, Agus mengaku senang dengan hasil panennya kali ini. Berbagai kebutuhan keluarga sudah menanti hasil kerjanya. "Hasilnya sudah ditunggu oleh kebutuhan, apa lagi kita butuh bekal untuk puasa dan Lebaran," kata Agus.
Lili (58) petani lainnya di blok persawahan Gunung Golong, membenarkan hasil panennya diterima bakul dengan harga Rp 6.200 per kilogram. Lahan garapannya seluas 700 bata, sudah menghasilkan sekitar 4 ton gabah basah. "Iya gabah diterima Rp 6.200, saya dapat 4 ton kurang. Sebenarnya ini berkurang, biasanya dapat 4 ton lebih," kata Lili.
Meski masih mengharapkan harga jual lebih tinggi, karena harga beras sedang tinggi, tapi Lili mengaku bersyukur. Menurut dia harga jual Rp 6.200 per kilogram adalah pencapaian tertinggi dalam beberapa kali panen terakhir.
"Bukannya serakah, keinginan kita sih bisa laku Rp 6.500, kan harga beras juga sedang tinggi. Tapi segini juga sudah lumayan, harus disyukuri, tuh orang lain mah gagal panen, kasihan," kata Lili.
Dia mengatakan sekitar 500 bata sawah di blok Gunung Golong itu mengalami gagal panen, akibat serangan hama burung dan hama kungkang (walang sangit). "Itu sawah garapan Mang Uho ada sekitar 500 bata habis diserang hama burung dan kungkang. Tidak tertolong, habis," kata Lili.
Aep Darmawan salah seorang bakul gabah mengaku sudah terbiasa dengan fluktuasi harga gabah. "Ramai harga beras mahal, petani biasanya minta harga tinggi juga. Sekarang petani minta lebih dari Rp 6.000, bahkan ada yang minta Rp 7.000. Ya wajar, sudah biasa, pintar-pintar kita nego saja," kata Aep.
Dia mengatakan kerap kali dituding petani ingin meraup untung besar, padahal dia sendiri menghadapi banyak tantangan. "Mengeringkan gabah juga sudah repot di musim hujan seperti sekarang. Terus ongkos giling gabah juga kan ikut naik, belum ongkos angkut juga," kata Aep.
Selain itu dia juga dihantui kekhawatiran harga akan kembali turun dalam beberapa waktu ke depan. Seiring dengan intervensi pemerintah untuk menurunkan harga.
"Sekarang kita beli gabah mahal dari petani, kan tidak ada jaminan harga beras akan terus mahal. Kalau minggu depan tiba-tiba masuk beras impor atau ada lagi bansos, kan kita yang rungkad (rugi)," kata Aep.
Atas kondisi itu Aep mengaku dirinya lebih senang stabilitas harga terjaga. Kenaikan atau tingginya harga beras menurut dia justru menimbulkan risiko, risiko untung besar atau risiko rugi besar.
"Makanya saya mah mendingan harga itu stabil, menampung dari petani tidak riweuh (repot) terus kita menjual juga tidak riweuh," kata Aep. *
(tya/tey)