Sebuah festival di Jepang menunjukkan sisi lain penduduk Jepang. Jika biasanya Jepang identik dengan tatakrama warganya yang sopan santun, namun di festival ini warga Jepang justru terlihat lebih barbar.
Festival yang dimaksud yakni Akutai Marsuri. Apabila diterjemahkan, Akutai Matsuri ini punya arti Festival Pelecehan Verbal.
Seperti namanya, dalam festival ini mereka akan bebas mengumpat dan berkata kasar di satu waktu tertentu. Ini merupakan satu dari beberapa festival di Jepang yang terbilang aneh sekaligus unik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dilansir dari detikTravel yang mengutip Soranews24, festival ini digelar di Kuil Iitsuna, Kota Kasama, Prefektur Ibaraki. Festival ini digelar setahun sekaili pada minggu ketiga bulan Desember.
Dalam festival ini, biasanya masyarakat berkerumun untuk menjadi penonton yang mengumpat. Ini juga sudah jadi tradisi sejak zaman feodal.
Festival yang diselenggarakan oleh perwakilan dari Kuil Atago ini dimulai dengan 13 pendeta mengenakan jubah putih dan topi hitam yang mewakili tengu atau roh berhidung panjang. Konon sosok itu dipercaya tinggal di pegunungan.
Festival ini mengambil rute lereng Gunung Atago. Lokasinya merupakan rumah bagi Hutan Atago Tengu di mana para arwah dipercaya tinggal.
Biasanya para anggota kelompok membawa persembahan kecil di atas tikar jerami. Mereka mempersembahkan itu di 16 pos-pos kuil kecil di sepanjang jalan.
Saat mereka melakukan prosesi di sepanjang jalan dan menaiki tangga yang curam, penduduk setempat meneriakkan hinaan kepada para pejalan kaki berjubah, dengan beberapa frasa yang umum digunakan adalah, "Bakayaro!" ("Dasar bodoh!"), "Osoi zo!" ("Kamu sangat lambat!"), dan "Hayaku agare yo, kono yaro!" ("Naiklah lebih cepat, dasar bajingan!").
Tapi, teriakkan umpatan itu bukan satu-satunya perilaku buruk yang dapat ditemui di festival ini. Ada lagi perilaku barbar yang dilakukan saat pendeta berhenti berdoa dan memberikan persembahan mereka. Penduduk setempat bertengkar satu sama lain dan mencuri hadiah yang dipercaya membawa keberuntungan.
Penduduk setempat diharuskan untuk menunggu sampai pendeta selesai berdoa sebelum mencuri hadiah. Karena jika tidak, pelanggaran peraturan ini dapat mengakibatkan cedera, karena pendeta berhak untuk menghentikan Anda dengan tongkat bambu hijau sampai doa selesai diucapkan.
Sejarah Festival
Festival ini sudah ada sejak dulu. Dimulai pada pertengahan Zaman Edo (1603-1868). Festival ini disebut sebagai cara bagi para bangsawan feodal untuk memahami keluhan sehari-hari penduduk. Namun, tetap ada batasan untuk apa yang dapat dikatakan, misalnya saja aturan terkait tidak menggunakan nama pribadi untuk memfitnah orang lain.
Umpatan dan teriakkan barbar warga dalam festival ini tak menjadi masalah. Begitu pun bagi turis. Sebab mereka bisa meneriakkan cacian secara terbuka untuk menghilangkan stres.
Festival ini pun dilakukan dengan riang gembira. Para pendeta pun pada akhirnya membagikan hadiah makanan ringan dan kue beras ke kerumunan.
Di akhir tahun lalu, festival ini diselenggarakan pada 17 Desember 2023. Festival ini pun menjadi magnet dan menarik banyak orang untuk menonton.
Artikel ini sudah tayang di detikTravel, baca selengkapnya di sini
(dir/dir)