Nasib Muhammad Abdul Fatah (20) yang bekerja sebagai PMI di Kamboja berakhir tragis. Bukannya mendapat banyak uang untuk memperbaiki ekonomi keluarga, Abdul Fatah justru mengalami sakit keras hingga meninggal dunia.
PMI asal Desa Cibodas, Kecamatan Cijati, Kabupaten Cianjur ini dikabarkan meninggal dunia usai dirawat di rumah sakit di Kamboja. Meninggalnya Fatah dianggap tidak wajar dan diduga disebabkan karena tindak kekerasan.
Tidak cuma itu, keluarga juga dipersulit saat ingin memulangkan jenazah Fatah. Keluarga dimintai uang sejumlah puluhan juta agar jasad Fatah bisa tiba di tanah air. Hal itulah yang membuat keluarga akhirnya meminta bantuan pemerintah dan polisi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diketahui, Abdul Fatah berangkat sebagai PMI pada Mei 2023 lalu. Saat itu, dia berangkat ke luar negeri dengan iming-iming gaji besar di sebuah perkantoran di Thailand oleh seseorang berinisial R yang merupakan tetangganya sendiri di kampung halaman.
"Jadi si R ini menawarkan pada korban untuk kerja kantoran di Thailand. Si R ini tidak menyebutkan kerja pastinya seperti apa, ataupun bekerja di perusahaan mana. Tapi karena R ini masih tetangga, lalu gajinya besar sekitar 700 dollar Amerika dan tidak dibebankan biaya apapun, korban pun mengiyakan," kata Ali Hadan kuasa hukum keluarga, Senin (20/11/2023)
Namun bukannya bekerja di Thailand seperti yang dijanjikan, Abdul Fatah justru tiba di Kamboja. Kepada keluarga, R berdalih jika Kamboja merupakan ibu kota dari Thailand. Setelah dua bulan bekerja, Abdul Fatah sempat mengirim uang sebesar Rp20 juta ke keluarga.
Namun sejak Agustus kemarin, Abdul Fatah mulai mengeluh akan kondisi kesehatannya. Keluarga kata Ali cemas dengan apa yang dialami Abdul Fatah di perantauan dan sempat meminta Abdul Fatah untuk pulang ke kampung halaman.
Permintaan itu tidak pernah terwujud. Sebab R menegaskan Abdul Fatah belum bisa kembali jika kontrak kerjanya masih berlaku. Bukan cuma itu, keluarga juga diancam jika Abdul Fatah akan dijual jika uang senilai Rp20 juta tidak segera diserahkan.
"Iya katanya kalau tidak segera kirim uang denda, korban akan dijual lagi ke Laos," tuturnya.
Kondisi Abdul Fatah kemudian semakin parah. Korban bahkan harus dirawat di salah satu rumah sakit di Phnom Pen, Kamboja. Dan pada 13 November kemarin, Abdul Fatah dinyatakan meninggal dunia.
"Pada 13 November lalu ada pihak mengatasnamakan perusahaan di Kamboja yang menyatakan kalau korban sudah meninggal dunia," jelas Ali Hildan.
Di tengah kesedihan, keluarga meminta jasad Abdul Fatah untuk dipulangkan guna selanjutnya dimakamkan di pemakaman keluarga. Namun permintaan itu kembali tidak diindahkan. Justru keluarga kembali dimintai uang oleh pihak yang mengaku sebagai perwakilan perusahaan.
"Jadi kalau ingin jenazah dipulangkan, dendanya harus dibayarkan dulu. Ditambah biaya pemulangannya pun katanya harus bayar sendiri," jelas Ali.
"Kami sudah lapor ke polisi terkait dugaan TPPO, kemudian kami juga lapor ke dinas terkait agar dibantu proses pemulangannya. Kami minta masalah ini diproses sampai tuntas baik oleh kepolisian ataupun pemerintah," lanjutnya.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Disnakertrans Kabupaten Cianjur Tohari Sastra mengatakan pihaknya sudah berkomunikasi dengan KBRI di Kamboja terkait meninggalnya Abdul Fatah.
"Kami sudah laporkan, terkait dugaan adanya tindak kekerasan hingga menyebabkan PMI tersebut meninggal. Kami juga minta dibantu proses pemulangannya. Tapi belum ada kabar sampai sekarang," kata dia.
Dia menyebut meskipun PMI tersebut berangkat secara non-prosedural, pihaknya akan mengupayakan pemulangan jenazah. "Berangkatnya memang non-prosedural, tapi tetap kami bantu agar bisa dipulangkan," tuturnya.
(sud/sud)