Perjuangan Sarkim Hidupi 8 Anak di Balik Eks Stasiun Indramayu

Lorong Waktu

Perjuangan Sarkim Hidupi 8 Anak di Balik Eks Stasiun Indramayu

Sudedi Rasmadi - detikJabar
Minggu, 19 Nov 2023 08:30 WIB
Cerita Anak Pekerja Eks Staatsspoorwegen Halte te Inderamajoe
Cerita Anak Pekerja Eks Staatsspoorwegen Halte te Inderamajoe (Foto: Sudedi Rasmadi/detikJabar)
Indramayu -

Bangunan tua dengan arsitektur khas Zaman Belanda terlihat masih berdiri kokoh di Jalan Letnan Sutedjo No 50 Kelurahan Paoman, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu. Bangunan yang kini digunakan sebagai tempat hunian warga itu ternyata bekas stasiun Indramayu (Eks Staatsspoorwegen Halte te Inderamajoe).

Di balik kokoh bangunan itu, ternyata menyimpan satu memori yang kini masih terkenang oleh masyarakat. Terutama anak dari mantan pekerja stasiun.

Seperti diketahui, Eks Stasiun Indramayu merupakan stasiun di jalur kereta api nonaktif Jatibarang-Indramayu. Dari banyak sumber, jalur dengan panjang lintasan sekitar 19 Kilometer itu diresmikan pada 15 September 1912 oleh perusahaan Staatsspoorwegen atau dikenal SS. Namun, jalur untuk melayani angkutan barang itu berhenti beroperasi sejak 21 Juli 1973 silam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari penelusuran detikJabar, bangunan yang kini sebagai tempat tinggal itu salah satunya dihuni oleh anak-anak dari mantan pekerja stasiun tersebut. Salah satunya Sikin (57) yang mengaku sejak lama bermukim di rumah di atas bekas rel kereta api sesuai petunjuk Almarhum Sarkim ayahandanya yang tak lain pernah bekerja di stasiun tersebut.

Kegigihan Sarkim sebagai pekerja di Stasiun Indramayu

Kepada detikJabar, Sikin menjelaskan bahwa sejak dibukanya jalur kereta api Jatibarang-Indramayu pada 1912, Sarkim ayahnya termasuk orang yang beruntung. Meski hanya mengantongi ijazah Sekolah Rakyat setingkat Sekolah Dasar, Sarkim bisa menjadi bagian dari stasiun warisan Belanda tersebut.

ADVERTISEMENT

Sambil mengingat, Sikin menceritakan kegigihan ayahnya saat bekerja di stasiun. Tak hanya sebagai penjaga palang pintu, Sarkim ternyata merangkap pekerjaan lainnya, mulai dari kebersihan (OB), melayani karcis, hingga sebagai petugas keberangkatan kereta. Bahkan, Sarkim juga harus mengontrol rel kereta api (Wesel).

"Berat mas, kerja siang malam. Pernah mas kereta mau masuk jalur satu dipindah tuh gak mau (Wesel macet), ternyata ada biji salak ganjal, pas dipaksa akhirnya melesat bijinya baru bisa pindah (jalur)," kata Sikin gambarkan pekerjaan ayahnya dulu, Rabu (15/11/2023).

Ketika itu, Sarkim dan istrinya Mak Ilah harus bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya bersama 8 anak-anaknya. Penghasilan yang didapat dari bekerja di stasiun sebesar Rp15 ribu sampai Rp20 ribu dirasakan belum cukup. Sehingga, Sarkim pun harus mencari pekerjaan sampingan lainnya.

Cerita Anak Pekerja Eks Staatsspoorwegen Halte te InderamajoePotret foto Sarkim dan istrinya dalam bingkai Foto: Sudedi Rasmadi/detikJabar

Pasalnya, selain untuk kebutuhan makan, Sarkim pun harus membayar sewa tempat tinggal yang kerap kali berpindah tempat.

Bahkan, banyak anak-anak Sarkim yang harus mencari biaya sendiri agar bisa sekolah. Sehingga, kata Sikin hampir semua saudaranya bisa mengenyam pendidikan formal meski paling tinggi setingkat SMA sederajat.

"Percaya gak mas, hari ini makan besok aja ya. Pokoknya bener-bener mas. Kalau pinjam beras terus gak dapat itu nangis mas karena gak bisa ngasih makan anak," kenang Sikin atas perjuangan ayahnya.

Dari kondisi itu, Sarkim mengharuskan anak-anaknya untuk bisa berniaga. Yaitu salah satunya dengan cara belajar menjadi kasir serta bersekolah.

"Saya sambil kerja sekolahnya. Kalau orang tua sih pasrah mana bisa bayar SPP, sekarang sih mending ada keterangan miskin," ungkapnya.

Tenggelamnya Stasiun Indramayu dan Perjuangan Sarkim Mendapatkan Haknya Setelah Pensiun.

Tepat pada tanggal 21 Juli 1973, jalur kereta Jatibarang-Indramayu dinyatakan berhenti operasi. Hal itu karena adanya tingkat kerugian yang semakin besar.

Berhentinya operasi jalur itu pun memaksa Sarkim untuk pensiun dari pekerjaannya. Dengan pasrah, Sarkim pun kembali bekerja di sebuah Koperasi agar istri dan anak-anaknya bisa mendapatkan tempat tinggal secara gratis.

Bertepatan dengan keadaan itu, kondisi stasiun Indramayu pun semakin kelam. Diceritakan Sikin bahwa area stasiun pascanonaktif semakin tidak terurus. Bahkan, kala itu, stasiun seolah tidak terlihat karena tertutup rapat oleh semak belukar yang terus tumbuh.

"Di sini itu rawan mas, sepi angker daerah ini tuh mas. Lewat aja mas gak ada yang berani. Uh penuh kangkung landa sama pandan mas, gak ada yang berani mas," kata Sikin gambarkan stasiun setelah berhenti operasi.

Hingga di suatu ketika sekitar tahun 1984, Sarkim mendapat dorongan dari salah satu mantan mandor Eks Stasiun Indramayu. Agar mau menempati stasiun tersebut agar bisa menjaga aset yang ada.

"Dibantu sama pak Ilham mandor Idris namanya. Kamu katanya, orang PJKAI gak mau nempatin di sini (eks stasiun)," kata Sikin tirukan perintah mandor stasiun.

Bahkan, Sarkim pun mulai teringat akan haknya setelah berhenti bekerja di stasiun. Ia pun kembali berjuang mengajukan dana pensiun kepada perusahaan di Bandung.

Berbagai cara pun dilakukan oleh Sarkim. Bahkan ia harus melakukan upaya suap dengan memberikan aneka makanan buah kepada pihak perusahaan agar pengajuan hak pensiunnya dikabulkan.

Selain karena tertumpuknya dokumen pengajuan itu. Adanya perubahan perusahaan perkeretaapian juga turut menghambat upaya Sarkim untuk perjuangkan hak pensiunnya.

"Pas berhenti itu gak dapat pensiun. Permasalahannya robah-robah (berubah-ubah) terus dari DKA, PJKA, PNKA, sampai sekarang KAI. Jadi gak ada yang ngurus (dana pensiun)," jelasnya.

"Ternyata dari sekian tumpukan orang-orang pensiun, itu paling bawah mas sampai mapnya lapuk. Syukur Alhamdulillah diurus dalam satu hari bisa keluar gaji pokok sebesar Rp450 ribu," ucapnya.

Tinggal di Bangunan Bekas Stasiun Indramayu

Kemegahan dan kesibukan di area Stasiun Indramayu pun kini tinggal cerita. Bahkan, tidak sedikit infrastruktur hingga fasilitas perkeretaapian yang hilang ditelan bumi atau diambil oleh orang yang tidak bertanggungjawab.

Beruntungnya, Almarhum Sarkim sebagai pensiunan pekerja stasiun mau menempati stasiun yang konon sempat tenggelam oleh semak belukar tersebut.

Diceritakan Jayono (56) yang tak lain adik kandung persis Sikin, ia mulai bertempat tinggal di gedung bekas stasiun sejak tahun 1984.

"Tadinya tinggal di lampu merah terus pindah ke sini (stasiun) tahun 1984," kata Jayono.

Cerita Anak Pekerja Eks Staatsspoorwegen Halte te InderamajoeJayono memegang foto Almarhum Sarkim pensiunan pekerja stasiun Foto: Sudedi Rasmadi/detikJabar

Seiring berjalannya waktu, area stasiun itu pun semakin ramai. Beberapa bangunan mulai berdiri di sekitar kantor stasiun.

Demi menjaga keutuhan aset, yang sudah berusia ratusan tahun itu, anak-anak Sarkim tetap tinggal di area stasiun. Meski pada tahun 1997 lalu, Pak Sarkim sang mantan pekerja stasiun telah tutup usia yang kemudian pada tahun 2016, Mak Ilah juga meninggal dunia.

"Yang tinggal di bangunan stasiun ini tiga orang, anak-anak pak Sarkim semua, hanya disekat saja. Yang ujung itu bungsu," katanya.

(yum/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads